6. Sungai dalam Konten, Konten dalam Kesadaran
"Yang kita perlukan bukan hanya konten viral, tapi narasi yang membasuh memori kolektif."
Tak dapat dimungkiri, salah satu dampak paling mencolok dari program ini adalah banjirnya... konten. Setiap hari, publik disuguhi video pembongkaran bangli, pengerukan sungai, hingga testimoni warga.
Di satu sisi, ini menggembirakan. Kesadaran publik meningkat, pemerintah terdorong bekerja cepat, dan sungai mulai "diperhatikan". Namun di sisi lain, kita harus bertanya: apakah sungai akan tetap dikontenkan saat tidak lagi dramatis? Saat ekskavator sudah pergi dan air kembali tenang?
Mengontenkan sungai semestinya tidak berhenti di layar. Ia harus menjadi pemantik diskusi, edukasi sekolah, proyek warga, dan bahkan karya seni. Sungai adalah budaya, bukan sekadar masalah infrastruktur.
7. Kita Semua Anak Sungai
"Sungai mengalir ke laut, tapi ingatlah: ia melewati halaman rumah kita terlebih dahulu."
Program normalisasi ini adalah langkah besar, tetapi langkah selanjutnya lebih penting: bagaimana menjaganya tetap hidup? Bagaimana memastikan anak-anak kita tidak sekadar mengenal sungai dari buku IPS, tapi dari pengalaman langsung merawatnya?
Mungkin sudah saatnya kita mulai menulis puisi tentang Kali Bekasi, membuat film pendek tentang Kali Jambe, atau menggelar festival air di bantaran Kali Cikeas. Bukan karena romantisme semata, tapi karena sungai akan mati jika hanya jadi proyek pemerintah. Ia butuh kita. Kita semua: anak sungai.
Penutup: Dari Pinggir ke Pusat, Dari Proyek ke Peradaban
"Sungai yang sehat bukan hanya tentang air yang mengalir, tapi juga tentang kehidupan yang tumbuh di sekitarnya."