Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Panjang Pengabdian Kiki: Setir yang Mengantar Rindu dan Menjaga Nyawa

16 Mei 2025   11:02 Diperbarui: 16 Mei 2025   11:02 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kiki berada di balik kemudi bus saat di Pul Gapuraning Rahayu di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.(KOMPAS.COM/CANDRA NUGRAHA)

Di PO Gapuraning Rahayu, Kiki merasa diperlakukan manusiawi. Tak ada uang jaminan. Tak ada target setoran. Upah jelas, bonus sesuai, dan kerja terasa seperti bagian dari keluarga. Ini bukan promosi perusahaan, melainkan gambaran tentang bagaimana sebuah sistem kerja yang adil mampu melahirkan loyalitas dan semangat.

Apa yang dirasakan Kiki seharusnya menjadi inspirasi bagi PO lain: bahwa kesejahteraan bukan semata soal uang, tapi juga soal kejelasan aturan, penghargaan, dan iklim kerja yang sehat. Jika sebuah PO bisa menciptakan ruang di mana sopir merasa dihargai, maka sopir pun akan mengemudi dengan rasa aman, bukan dengan beban.

Sistem kerja yang manusiawi tak hanya menjaga sopir tetap waras, tapi juga menjaga penumpang tetap selamat. Di tengah pekerjaan yang sunyi dan tak selalu dipuji, para sopir sejatinya memikul amanat yang jauh lebih besar daripada yang bisa dibayar dengan uang.

Alternatif dan Harapan untuk Masa Depan Transportasi Publik

Profesi sopir adalah wajah terdepan dari sistem transportasi kita. Jika ingin membenahi sektor ini, maka mulailah dari mereka. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat merancang insentif untuk sopir berprestasi, pelatihan psikologis untuk ketahanan mental, hingga ruang aduan khusus bagi sopir yang mengalami tekanan kerja.

Sementara itu, pihak PO bisa mengembangkan sistem penilaian berbasis etika, bukan semata performa. Misalnya, memberi apresiasi kepada sopir yang berhasil mempertahankan ketepatan waktu sekaligus menjaga kenyamanan dan keamanan. Transparansi upah dan kejelasan jam kerja juga menjadi fondasi penting agar profesi ini tak sekadar jadi “pilihan terakhir” bagi pekerja informal.

Dan yang tak kalah penting: kampanye publik. Narasi tentang sopir harus diubah—bukan sekadar pengendara, tapi penjaga kehidupan. Pendidikan di sekolah bahkan bisa menyisipkan empati terhadap profesi ini. Karena bisa jadi, hidup kita pernah diselamatkan oleh seseorang yang tidak kita kenal, di balik kemudi bus yang melaju senyap di malam hari.

Penutup: Setir yang Menghubungkan, Hati yang Menguatkan

Kiki bukan hanya mengemudi dari satu kota ke kota lain. Ia menjemput rindu, mengantar harapan, dan menjaga nyawa. Dalam diamnya, ia adalah pengabdi jalanan yang tak banyak menuntut, tapi selalu hadir untuk orang lain. Kita perlu lebih banyak mendengar kisah seperti ini—kisah yang sederhana, namun menggugah kesadaran kita tentang makna tanggung jawab dan kemanusiaan.

Jika jalanan adalah panggung, maka para sopir seperti Kiki adalah pemeran utamanya. Sudahkah kita cukup menghargai mereka, atau kita hanya mengingat keberadaan mereka saat sampai di tujuan dengan selamat? Wallahu a’lam.

Sumber berita:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun