Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kartini dan Enam Buku yang Menyalakan Lentera Kesadaran

20 April 2025   20:09 Diperbarui: 20 April 2025   20:10 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kartini dan Enam Buku yang Menyalakan Lentera Kesadaran

"Aku membaca, karena aku ingin mengerti. Aku mengerti, karena aku ingin menjadi lebih dari sekadar perempuan bumiputera yang patuh." — (Surat Kartini, 1901)

Oleh Karnita

Pendahuluan

Setiap kali bulan April tiba, nama Kartini kembali menggema. Ia diperingati di sekolah-sekolah, dikenang dalam lomba kebaya, hingga dinobatkan sebagai pahlawan emansipasi. Namun, di balik foto hitam putihnya yang bersahaja, tersimpan sosok perempuan muda yang tajam, kritis, dan berpikiran bebas. Kartini adalah pembaca yang rakus—dan karena membaca, ia menulis, dan karena menulis, ia dikenang.

Tak banyak yang menyadari bahwa surat-surat Kartini yang termasyhur itu sesungguhnya hanya ujung dari gunung es. Di bawahnya, tersembunyi tumpukan bacaan yang ia lahap diam-diam dari kotak ayahnya. Ia membaca dalam diam, merenung dalam gelisah, dan berpikir dalam sunyi. Bacaan-bacaannya bukan sembarang buku. Di dalamnya, terdapat teriakan perlawanan, renungan feminis, sampai pergulatan batin seorang perempuan dalam kungkungan sistem feodal yang menjerat peran dan pilihan hidupnya.

Tulisan ini lahir dari kehendak untuk kembali menengok lemari pikiran Kartini—melalui enam buku yang pernah membentuk kesadarannya. Gagasan ini juga diinspirasi oleh laporan yang ditulis Dendy Ramdhani dan dimuat di Kompas.com pada 20 April 2025, yang memuat daftar bacaan Kartini mulai dari Multatuli hingga sosialisme. Sebuah catatan yang memperlihatkan, bahwa emansipasi yang diperjuangkan Kartini bukan datang dari langit, melainkan dari perjumpaan sunyi yang mendalam dengan ide-ide subversif. Kartini adalah perempuan yang membaca zaman—dan dari sana, lahirlah keberanian untuk mengubahnya.

1. Minnebrieven: Surat-Surat Cinta yang Membuka Luka Bangsa

Di balik kata "cinta", terungkap duka panjang sebuah penjajahan.

Multatuli menulis Minnebrieven (1861) sebagai tindak lanjut emosional dari Max Havelaar. Namun kali ini, ia berbicara dari ruang batin yang lebih personal—melalui surat cinta yang menggugat kemunafikan dan kekejaman kolonialisme. Buku ini menyuarakan derita dan dilema moral yang dialami oleh seorang Belanda yang jujur namun terkekang sistem kolonial. Bagi Kartini, Minnebrieven adalah lentera yang memperjelas wajah penindasan yang selama ini ia rasakan namun belum bisa rumuskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun