Surat-surat Multatuli membuat Kartini sadar bahwa penjajahan bukan sekadar soal politik dan ekonomi, tetapi menyangkut hakikat kemanusiaan. Ia melihat bagaimana kepegawaian kolonial, pendidikan, bahkan cinta bisa menjadi alat kekuasaan. Inilah awal kesadarannya bahwa perubahan tidak bisa hanya datang dari atas, tetapi dari kesadaran yang tumbuh di dalam.
Buku ini merefleksikan kondisi kekinian, di mana kekuasaan masih kerap dikawal dengan narasi palsu. Minnebrieven mengajarkan bahwa mencintai bangsa ini tak cukup dengan kata-kata—harus ada keberanian menggugat ketidakadilan, bahkan jika itu menyakitkan.
2. Hilda van Suylenburg: Ketika Perempuan Menuntut Haknya
"Percayakah kau, kalau Hilda van Suylenburg itu aku tamatkan tanpa berhenti?"
Novel karya Nyonya C. Goekoop de Jong ini adalah roman yang mengguncang batin Kartini. Hilda, tokoh utama dalam novel ini, adalah perempuan Belanda yang menolak tunduk pada norma patriarki. Ia melawan, berpikir, dan berdiri atas keyakinannya sendiri. Ketika Kartini membaca kisah Hilda, ia tak hanya menikmati cerita. Ia larut, menyatu, dan memproyeksikan dirinya dalam sosok Hilda.
"Aku kurung diriku di dalam kamar terkunci, lupa segala-galanya," tulisnya dalam suratnya. Kartini membaca novel ini seperti orang kehausan yang menemukan mata air. Bagi Kartini, Hilda bukan sekadar karakter fiksi, tapi simbol kemungkinan. Bahwa perempuan bisa berpikir sendiri. Bahwa perempuan bisa memilih jalannya sendiri. Bahwa perempuan tak harus diam.
Kisah Hilda menjadi jendela untuk melihat masa depan yang mungkin: masa depan di mana perempuan punya suara dan pilihan. Di tengah realitas Jawa yang begitu mengekang, novel ini seperti teriakan kecil yang menembus tembok keraton.
3. Moderne Vrouwen: Ketika Kartini Menemukan Dirinya Sendiri
"Banyak hal yang memang telah aku pikirkan, rasakan, dan alami."
Minnebrieven atau Surat Cinta adalah karya kedua Multatuli setelah Max Havelaar. Buku ini bukan sekadar surat-surat sentimental, melainkan protes sunyi terhadap absurditas kekuasaan dan kelaliman kolonialisme. Multatuli menulis dengan pedih, tetapi juga dengan keberanian yang menggugah. Dalam buku ini, Kartini menemukan kenyataan yang sudah ia lihat dengan mata kepala sendiri: penindasan sistematis atas rakyat bumiputera.
Buku ini menyentuhnya begitu dalam karena berbicara tentang luka yang selama ini hanya bisa ia bisikkan dalam hati. Ia melihat bagaimana para pegawai rendahan diperlakukan tak ubahnya mesin, dan bagaimana pendidikan dijadikan alat pembeda, bukan pembebas. Ketika Kartini membaca Minnebrieven, ia seperti menemukan bahasa bagi kemarahan yang selama ini belum sempat ia eja.