Cerita dari Digul: Getirnya Pengasingan, Harumnya Perlawanan
Oleh Karnita
"Sejarah bukan hanya tentang pahlawan di medan perang, tetapi juga mereka yang bertahan dalam senyap di tanah pembuangan."
Pendahuluan
Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada cetakan kelima tahun 2015, Cerita dari Digul adalah kumpulan kisah nyata para eks-Digulis yang dibuang oleh kolonial Hindia-Belanda. Disunting oleh Pramoedya Ananta Toer, buku ini merekam penderitaan, perjuangan, dan keteguhan mereka yang terasing dari tanah air sendiri.
Sinopsis Lima Kisah
Sejak 1927, Digul di Papua menjadi tempat pengasingan bagi tahanan politik. Buku ini menghimpun lima kisah nyata yang menggambarkan kerasnya hidup di tanah buangan—mulai dari keteguhan seorang buruh, pengorbanan sia-sia demi cinta, benturan idealisme dan penyesalan, pelarian penuh risiko, hingga perjalanan tanpa kepastian menuju kebebasan.
Rustam Digulist: Buruh yang Tak Tunduk
Rustam hanyalah seorang buruh, tetapi semangatnya menyala. Ia tak tinggal diam melihat ketidakadilan, hingga keberaniannya membawanya ke Digul—tanah pengasingan yang bagi banyak orang berarti akhir kebebasan. Namun, Rustam tak menyerah. Di balik derita, ia menemukan makna perlawanan sejati: bertahan di tengah ketidakadilan.
Di Digul, ia membangun komunitas kecil bersama sesama buangan. Mereka berbagi kisah, saling mendukung, dan mencari cara untuk bertahan hidup. Meski panas menyengat dan wabah mengintai, tekad mereka tak goyah.
Namun, waktu terus berjalan. Satu per satu kawannya gugur. Rustam mulai bertanya, apakah perjuangannya sia-sia? Dalam kesunyian, ia menulis kisah mereka, berharap dunia tahu bahwa mereka yang dibuang bukan berarti kalah.
Kisah Rustam mengingatkan kita pada para pekerja yang masih memperjuangkan hak-haknya hingga kini. Digul mungkin tinggal sejarah, tetapi ketidakadilan tetap ada. Rustam adalah simbol ketahanan, bahwa perlawanan bukan hanya melawan penguasa, tetapi juga melawan ketidakpedulian.
Darah dan Air Mata di Boven Digul: Cinta yang Menghancurkan

Margono tak pernah mengira cintanya akan menjerumuskannya ke Digul. Ia bukan politisi atau aktivis, hanya pria yang mencintai dengan segenap hati. Demi perempuan yang ia puja, ia rela dibuang, hanya untuk mendapati bahwa kesetiaan bisa luntur oleh waktu.
Di pengasingan, ia bertahan dengan harapan bisa kembali dan menemukan kebahagiaannya. Ia mengukir nama sang kekasih di dinding gubuk, membayangkan pertemuan yang dinantikannya. Namun, saat kesempatan pulang tiba, kenyataan pahit menunggunya—sang pujaan hati telah menikah dengan pria lain.
Pengorbanan Margono berakhir dalam kehampaan. Ia belajar bahwa cinta tak selalu menemukan jalannya, dan kesetiaan tak selalu berbuah manis.
Kisah Margono mencerminkan realitas cinta yang diuji keadaan. Ia mengingatkan bahwa pengorbanan harus didasari keikhlasan, bukan sekadar harapan akan balasan. Cinta yang tak dijaga dua hati akan larut dalam waktu.
Pandu Anak Buangan: Idealisme dan Penyesalan
Pandu berangkat dengan penuh keyakinan. Ia rela kehilangan segalanya demi perjuangan. Namun, seiring berlalunya waktu di Digul, ia mulai dihantui oleh sesuatu yang tak ia duga: rindu.
Bukan rindu pada tanah air, melainkan pada keluarganya. Ia teringat ibunya, tawa anaknya, dan dekapan istrinya yang kini hanya tinggal kenangan. Ia bertanya-tanya, apakah pengorbanannya sebanding dengan yang ia tinggalkan?
Di malam-malam sunyi, ia menulis surat-surat yang tak pernah terkirim. Ia ingin menjelaskan, ingin meminta maaf. Tapi waktu telah membawa segalanya pergi.
Pandu mengajarkan bahwa idealisme tak boleh melupakan dampaknya pada orang-orang yang kita cintai. Sebab terkadang, yang kita korbankan terlalu berharga untuk ditinggalkan begitu saja.
Antara Hidup dan Mati: Pelarian dari Neraka Digul
Mereka berlari dalam gelap, napas tersengal. Setiap langkah adalah pertaruhan antara hidup dan mati. Digul bukan sekadar pengasingan, tetapi neraka yang ingin mereka tinggalkan.
Perjalanan mereka penuh bahaya. Sungai deras menghadang, buaya mengintai, dan kelelahan menggerogoti. Tapi mereka tak punya pilihan. Di belakang, serdadu kolonial memburu mereka.
Minggu-minggu berlalu, satu per satu tumbang. Ada yang tenggelam, ada yang tersesat, ada yang menyerah. Namun, sebagian berhasil lolos. Bukan akhir perjuangan, tetapi awal dari babak baru.
Hari ini, ketidakadilan masih ada, meski dalam bentuk berbeda. Pelarian mereka mengingatkan bahwa kebebasan selalu punya harga, dan keberanian adalah syarat mutlak untuk meraihnya.
Minggat dari Digul: Sebuah Pelarian Tanpa Akhir
Saleh dan Sontani nekat kabur dari Digul. Minim persiapan, mereka berjalan di malam buta, hanya untuk menyadari lima jam kemudian bahwa mereka berputar-putar di sekitar kampung sebelah.
Hari-hari berikutnya penuh ketegangan. Parang mereka dicuri Kayakaya, mereka keracunan buah, terserang malaria, dan hampir hanyut di sungai. Namun, nasib juga mempertemukan mereka dengan tiga pelarian lain—Sastropawiro, Dulrachman, dan Tukiman—yang ikut bergabung.
Perjalanan makin jauh. Mereka meminta bantuan kelompok Kayakaya lain untuk mencapai Sungai Fly, membayar dengan pakaian. Rombongan bertambah setelah bertemu Harjosuparto dan lima pelarian lain. Sebelas orang kini bertahan di tengah hutan, mengumpulkan tenaga sebelum melanjutkan langkah.
Kisah mereka berakhir tanpa kepastian. Apakah mereka lolos atau gugur? Tak ada yang tahu. Yang pasti, ini bukan sekadar cerita pelarian, tetapi cerminan perjuangan tanpa jaminan kemenangan—sebuah perjalanan di antara harapan dan ketidakpastian.
Kedudukan dalam Peta Sastra Indonesia
Disunting oleh Pramoedya Ananta Toer, Cerita dari Digul bukan sekadar kumpulan kisah pengasingan, tetapi bagian dari tradisi dokumentasi sosial-politik yang kuat. Dengan latar nyata dan suara langsung para eks-tahanan, buku ini membuktikan bahwa sastra tak hanya menghibur, tetapi juga alat perlawanan.
Dalam lanskap sastra Indonesia, buku ini menempati posisi unik, menggabungkan fakta sejarah dengan narasi personal. Sejajar dengan Bumi Manusia atau Tetralogi Pulau Buru, ia menghadirkan suara kolektif mereka yang hidup dalam penindasan—perspektif yang jarang terdokumentasi dalam sejarah resmi.
Kontribusi bagi Sejarah Perjalanan Bangsa
Kisah-kisah dalam buku ini bukan sekadar cerita, melainkan bukti nyata upaya kolonialisme meredam perlawanan. Digul bukan hanya tempat pembuangan, tetapi laboratorium penderitaan yang dirancang untuk menghancurkan semangat juang. Namun, banyak yang justru semakin teguh memegang idealisme, membuktikan bahwa pikiran tetap bisa bebas meski fisik dikekang.
Cerita dari Digul memperkaya narasi kemerdekaan dengan sudut pandang yang lebih personal. Jika sejarah resmi dipenuhi heroisme para pemimpin besar, buku ini menyoroti pengorbanan individu kecil yang tak selalu tercatat, tetapi tetap berperan penting dalam perjalanan bangsa.
Relevansi dengan Konteks Saat Ini
Kisah-kisah dari Digul bukan sekadar masa lalu—represi masih hadir dalam berbagai bentuk. Kebebasan berpendapat yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini tetap diuji. Diskriminasi politik, pembungkaman suara kritis, dan ketidakadilan sistemik masih menjadi kenyataan, meski wajahnya telah berubah.
Buku ini mengingatkan bahwa sejarah terus berulang dengan cara berbeda. Para eks-Digulis telah membuktikan bahwa keberanian melawan ketidakadilan adalah warisan yang harus dijaga. Cerita dari Digul bukan hanya nostalgia, tetapi refleksi bahwa perjuangan belum selesai.
Pesan Universal
Di balik latar sejarah dan politiknya, Cerita dari Digul membawa pesan abadi: ketahanan, pengorbanan, dan harapan. Tokoh-tokohnya bukan pahlawan klasik, melainkan manusia biasa dalam situasi luar biasa. Mereka terbuang, menderita, tetapi tetap bertahan—bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan demi sesuatu yang lebih besar.
Perjuangan untuk keadilan selalu mahal. Kadang pengorbanan terasa sia-sia, dan harapan tampak mustahil. Namun, kisah-kisah ini mengingatkan bahwa selama masih ada yang berani melawan, keadilan selalu punya peluang untuk menang.
Gaya Bahasa yang Lugas dan Tajam
Buku ini disusun dari tulisan eks-Digulis dengan gaya yang lugas dan tanpa basa-basi. Narasinya lebih fokus pada pengalaman nyata ketimbang estetika sastra. Tidak ada metafora berbunga, hanya kesaksian yang mengalir—tajam, tegas, dan kerap menyakitkan.
Pramoedya Ananta Toer sebagai penyunting menjaga keaslian suara para penulisnya. Ia tak "merapikan" cerita hingga kehilangan karakter aslinya. Sebaliknya, ia membiarkan kisah-kisah ini berbicara sendiri, membuatnya lebih hidup, jujur, dan menggugah.
Keunggulan dan Kelemahan
Keunggulan utama Cerita dari Digul adalah autentisitasnya. Jarang ada buku yang menangkap kehidupan pengasingan Digul langsung dari pengalaman para tahanan. Ini bukan sekadar dokumentasi sejarah, melainkan kesaksian hidup tentang ketahanan manusia di bawah tekanan ekstrem.
Namun, gaya yang beragam membuat narasi kurang padu. Beberapa kisah terasa tajam dan emosional, sementara lainnya mungkin lebih datar bagi pembaca yang mencari dramatisasi. Tapi justru di situ kekuatannya—bukan satu suara, melainkan mozaik perlawanan dari banyak perspektif.
Penutup
Lebih dari sekadar catatan sejarah, Cerita dari Digul membuktikan bahwa ketidakadilan selalu melahirkan perlawanan. Buku ini menghidupkan suara-suara yang nyaris terlupakan, mengingatkan bahwa sejarah bukan sekadar peristiwa, tetapi juga kisah ketahanan, kehilangan, dan harapan.
Di dunia yang terus bergerak, buku ini tetap relevan sebagai pengingat bahwa kebebasan tak datang dengan sendirinya—ia diperjuangkan dan sering kali dibayar mahal. Kisah-kisah ini mengajarkan bahwa selama ketidakadilan masih ada, semangat perlawanan akan selalu menemukan jalannya. Wallahu a’lam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
