Antara Hidup dan Mati: Pelarian dari Neraka Digul
Mereka berlari dalam gelap, napas tersengal. Setiap langkah adalah pertaruhan antara hidup dan mati. Digul bukan sekadar pengasingan, tetapi neraka yang ingin mereka tinggalkan.
Perjalanan mereka penuh bahaya. Sungai deras menghadang, buaya mengintai, dan kelelahan menggerogoti. Tapi mereka tak punya pilihan. Di belakang, serdadu kolonial memburu mereka.
Minggu-minggu berlalu, satu per satu tumbang. Ada yang tenggelam, ada yang tersesat, ada yang menyerah. Namun, sebagian berhasil lolos. Bukan akhir perjuangan, tetapi awal dari babak baru.
Hari ini, ketidakadilan masih ada, meski dalam bentuk berbeda. Pelarian mereka mengingatkan bahwa kebebasan selalu punya harga, dan keberanian adalah syarat mutlak untuk meraihnya.
Minggat dari Digul: Sebuah Pelarian Tanpa Akhir
Saleh dan Sontani nekat kabur dari Digul. Minim persiapan, mereka berjalan di malam buta, hanya untuk menyadari lima jam kemudian bahwa mereka berputar-putar di sekitar kampung sebelah.
Hari-hari berikutnya penuh ketegangan. Parang mereka dicuri Kayakaya, mereka keracunan buah, terserang malaria, dan hampir hanyut di sungai. Namun, nasib juga mempertemukan mereka dengan tiga pelarian lain—Sastropawiro, Dulrachman, dan Tukiman—yang ikut bergabung.
Perjalanan makin jauh. Mereka meminta bantuan kelompok Kayakaya lain untuk mencapai Sungai Fly, membayar dengan pakaian. Rombongan bertambah setelah bertemu Harjosuparto dan lima pelarian lain. Sebelas orang kini bertahan di tengah hutan, mengumpulkan tenaga sebelum melanjutkan langkah.
Kisah mereka berakhir tanpa kepastian. Apakah mereka lolos atau gugur? Tak ada yang tahu. Yang pasti, ini bukan sekadar cerita pelarian, tetapi cerminan perjuangan tanpa jaminan kemenangan—sebuah perjalanan di antara harapan dan ketidakpastian.
Kedudukan dalam Peta Sastra Indonesia