Gaya Bahasa yang Lugas dan Tajam
Buku ini disusun dari tulisan eks-Digulis dengan gaya yang lugas dan tanpa basa-basi. Narasinya lebih fokus pada pengalaman nyata ketimbang estetika sastra. Tidak ada metafora berbunga, hanya kesaksian yang mengalir—tajam, tegas, dan kerap menyakitkan.
Pramoedya Ananta Toer sebagai penyunting menjaga keaslian suara para penulisnya. Ia tak "merapikan" cerita hingga kehilangan karakter aslinya. Sebaliknya, ia membiarkan kisah-kisah ini berbicara sendiri, membuatnya lebih hidup, jujur, dan menggugah.
Keunggulan dan Kelemahan
Keunggulan utama Cerita dari Digul adalah autentisitasnya. Jarang ada buku yang menangkap kehidupan pengasingan Digul langsung dari pengalaman para tahanan. Ini bukan sekadar dokumentasi sejarah, melainkan kesaksian hidup tentang ketahanan manusia di bawah tekanan ekstrem.
Namun, gaya yang beragam membuat narasi kurang padu. Beberapa kisah terasa tajam dan emosional, sementara lainnya mungkin lebih datar bagi pembaca yang mencari dramatisasi. Tapi justru di situ kekuatannya—bukan satu suara, melainkan mozaik perlawanan dari banyak perspektif.
Penutup
Lebih dari sekadar catatan sejarah, Cerita dari Digul membuktikan bahwa ketidakadilan selalu melahirkan perlawanan. Buku ini menghidupkan suara-suara yang nyaris terlupakan, mengingatkan bahwa sejarah bukan sekadar peristiwa, tetapi juga kisah ketahanan, kehilangan, dan harapan.
Di dunia yang terus bergerak, buku ini tetap relevan sebagai pengingat bahwa kebebasan tak datang dengan sendirinya—ia diperjuangkan dan sering kali dibayar mahal. Kisah-kisah ini mengajarkan bahwa selama ketidakadilan masih ada, semangat perlawanan akan selalu menemukan jalannya. Wallahu a’lam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI