Seabad Pram: Cinta, Bangsa, dan Kata dalam Bumi Manusia
Oleh Karnita
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.” ― Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
Pengantar
Bumi Manusia adalah novel pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang ditulis saat menjalani masa tahanan di Pulau Buru. Karya ini pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980 dan langsung mencuri perhatian publik hingga dicetak ulang sepuluh kali dalam waktu satu tahun. Namun, pada 1981, peredarannya dilarang oleh Jaksa Agung, meskipun minat terhadap buku ini tetap tinggi. Hingga tahun 2005, Bumi Manusia telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa dan kembali diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Lentera Dipantara, menandai posisinya sebagai karya sastra monumental yang melampaui batas geografis dan politik.
Sinopsis Novel Bumi Manusia
Bumi Manusia merupakan karya pertama dari Tetralogi Pulau Buru, sebuah novel fiksi-sejarah yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Meskipun tokoh-tokohnya fiktif, latar sejarah dan sosial dalam novel ini mencerminkan kenyataan kehidupan masyarakat Hindia Belanda pada akhir abad ke-19.
Cerita berpusat pada Minke, seorang pemuda pribumi keturunan bangsawan Jawa yang mendapatkan kesempatan langka: bersekolah di Hogere Burgerschool (HBS), lembaga pendidikan bergengsi yang kala itu hanya bisa diakses oleh orang Eropa dan keturunan atas. Dalam lingkungan sekolah yang kental dengan budaya kolonial, Minke tumbuh dengan kekaguman terhadap peradaban Barat, sampai pada titik ia nyaris melupakan akar Jawanya sendiri.
Hidup Minke berubah drastis saat ia bertemu Annelies Mellema, gadis cantik keturunan campuran yang tinggal bersama ibunya, Nyai Ontosoroh, di rumah besar di Wonokromo. Annelies adalah anak dari pengusaha Belanda, Herman Mellema, yang tidak pernah menikahi Nyai secara resmi. Dalam masyarakat kala itu, Nyai dicap sebagai “istri simpanan” — posisi yang rentan secara hukum dan sosial.
Minke jatuh cinta kepada Annelies, dan meskipun banyak rintangan seperti fitnah, pertentangan dari orang tua, dan konflik dengan kakak Annelies bernama Robert, ia tetap memperjuangkan cintanya. Nyai Ontosoroh sendiri bukan sosok perempuan biasa: ia cerdas, mandiri, dan melawan takdir yang menjerumuskannya menjadi gundik dengan cara memperluas pengetahuan dan membesarkan anak-anaknya secara beradab.