Ketika Minke harus memilih antara menjadi jurnalis yang menyuarakan kebenaran atau menjadi siswa HBS yang “baik-baik” dan patuh, kita melihat dilema yang masih relevan hari ini. Ketika Nyai Ontosoroh berjuang melawan sistem yang menyudutkan posisinya sebagai perempuan pribumi yang tidak "resmi" di mata hukum kolonial, kita teringat akan perjuangan banyak perempuan hari ini yang masih mencari ruang untuk diakui secara utuh. Itulah kekuatan Bumi Manusia: ia hidup di setiap zaman.
4. Cinta dalam Jerat Penjajahan
Cinta antara Minke dan Annelies bukanlah kisah asmara biasa. Ia tumbuh dalam tanah kolonialisme yang kering dan penuh duri. Annelies yang lembut dan rapuh, menjadi korban dari sistem yang menolak mengakui hak ibunya, dan akhirnya dipisahkan paksa dari Minke. Cinta mereka menjadi perlawanan kecil terhadap struktur besar yang tak memberi ruang pada perasaan sejati manusia.
Namun cinta mereka juga menjadi luka. Ketika Annelies harus meninggalkan Hindia karena hukum waris Belanda, kita menyaksikan bagaimana cinta bisa direnggut oleh kekuasaan. Di sinilah Pramoedya menyampaikan bahwa cinta tanpa keadilan akan selalu kehilangan tempat. Bahwa dalam dunia yang belum merdeka, bahkan cinta pun harus berjuang.
5. Perempuan, Hukum, dan Perlawanan
Nyai Ontosoroh berdiri sebagai simbol perlawanan paling tajam dalam novel ini. Meski "nyai" sering diasosiasikan dengan posisi rendah dalam struktur sosial kolonial, Nyai Ontosoroh justru tampil tegar, berpendidikan, dan penuh harga diri. Ia mengelola perusahaan, mendidik anaknya, dan menolak tunduk meski hukum tidak berpihak padanya. Ia bukan sekadar tokoh, tapi representasi suara perempuan yang ditindas sistem.
Ketika pengadilan memutuskan Annelies harus diserahkan ke keluarga sah ayah Belandanya, Nyai Ontosoroh tak bisa berbuat apa-apa meski ia membesarkan Annelies dengan sepenuh hati. Kegagalan itu bukan kekalahan moral, tapi kemenangan dalam perjuangan martabat. Ia menunjukkan bahwa keberanian perempuan tidak selalu harus menang secara hukum, tapi cukup dengan tidak tunduk secara batin.
6. Relevansi Karya dengan Realitas Kehidupan Saat Ini
Bumi Manusia mungkin berlatar awal abad ke-20, tapi gema nilainya tetap terasa hingga kini. Kita masih melihat ketimpangan hukum, ketidakadilan kelas, dan sistem pendidikan yang kerap lebih berpihak pada mereka yang punya akses. Minke yang kesepian di tengah modernitas, dan Nyai Ontosoroh yang melawan sistem demi hak asuh anak, mencerminkan wajah masyarakat hari ini yang masih berjuang melawan berbagai bentuk ketidakadilan.
Banyak anak muda seperti Minke hari ini juga terombang-ambing antara nilai lokal dan global, antara idealisme dan realita. Dan banyak perempuan seperti Nyai Ontosoroh yang terus berjuang mendapatkan pengakuan, bukan hanya dari masyarakat tapi juga dari sistem hukum dan kebijakan negara. Inilah yang membuat Bumi Manusia tetap aktual: ia berbicara tentang kita, hari ini.
7. Urgensi Karya dalam Peta Sastra Indonesia