"Tidak boleh bilang begitu nak sama pak guru, mungkin kamu saja yang merasa duluan, padahal dalam penglihatan pak gurumu ada yang lebih cepat," Sang ayah menjawabnya dengan spontan (tentu saja sambil merenung bahwa, anak-anak juga bisa menilai kita orang dewasa). Percakapan tentang itu selesai hari itu.Â
Keesokan harinya, tidak biasanya tiba-tiba Hari memberanikan diri mengutarakan niatnya untuk tidak mau pergi ke sekolah hari itu. Ia memang memberikan alasan sebagaimana diceritakan di awal. Akan tetapi, ayahnya tetap menduga bahwa itu ada hubungannya dengan kejadian di hari sebelumnya. Ayahnya pun bertanya pada ibunya.
"Emang kemarin saat dijemput di kelas apakah masih ada guru di kelasnya?" Ayah Hari bertanya kepada ibunya Hari.
"Iya ada, tetapi bukan lagi guru yang ngajar -mengelolah permainan- itu." Ibunya menjawab.
Ayahnya pun mengabulkan permohonan Hari untuk tidak masuk hari itu.Â
Singkat ceritanya, di hari berikutnya, sebagaimana biasanya, anak-anak diminta untuk bersiap-siap ke sekolah. Tak lagi seperti biasa, ia malah tampak bermalas-malasan dan kurang bergairah. Tak lagi seperti di hari-hari sebelumnya. Namun demikian, ia tetap mematuhi perintah ibunya untuk mandi dan menggunakan seragam sekolah.Â
Akan tetapi, saat tiba di tempat tujuan, ia yang sudah turun dari kendaraan dan sudah jalan beberapa langkah, tiba-tiba kembali lagi dan berkata, "atau saya tidak usah dulu ke sekolah,"
"Emang kenapa?" tanya ibunya.
Sambil mengangkat bahu dan menundukkan kepala ia berkata, "malas,"
Ibunya yang cukup tegas langsung memberi perintah tanpa pilihan.Â
"Pokoknya, harus ke sekolah, atau kalau kau merasa ada masalah, sini ibu antar langsung." Ia pun tak bisa memilih, "baiklah, saya mau ke sekolah, tidak usah diantar"