"Langsung jemput saja Hari", terdengar suara dari seberang menjawab.Â
"Emang kenapa, apa tidak ada jadwal mengaji?" Ayah bertanya.
Jadwal pulang sekolah tempat Hari belajar sebenarnya pukul 13.00, akan tetapi, biasanya ayahnya menjemput mereka pukul 16.00 sekalian dengan ibunya. Lagi pula, kakaknya sekolah di jenjang yang lebih tinggi di kompleks yang sama jadwal pulangnya pukul 15.30. Belum lagi kalau ada kegiatan ekstrakurikuler.Â
Biasanya, Hari juga dijemput sekaligus sore hari. Apalagi jika ada jadwal tambahan mengaji. Maka jemputannya nanti sekalian pukul 17.00. Nah, hari itu tiba-tiba ayahnya ditelpon ibunya untuk dijemput lebih awal. Menurut keterangan ibunya, Hari menangis di kelas. Setelah ditanya alasan mengapa Hari menangis, ibunya memberikan keterangan bahwa alasan Hari menangis karena timnya kalah dalam permainan yang dikelolah oleh gurunya yang masuk saat jam itu. Ibunya yang mendapatkan laporan dari teman sekelasnya langsung menyusulnya di kelas.
Ayahnya sebenarnya tidak terlalu menanggapinya. Bagi ayahnya, itu perkara biasa, dunia anak-anak memang begitu. Terkadang bermain dengan gembira dan pulang membawa cerita-cerita gembira, tak jarang justru menangis seperti saat itu.Â
Hari masih saja terisak saat berada di dalam kendaraan. Dari raut mukanya yang memerah dan suaranya terdengar parau, ayahnya menduga tangisannya saat di ruangan kelas tadi pasti keras. Ayahnya tidak berusaha membujuknya, ia biarkan saja agar Hari bisa belajar sendiri mengelolah emosinya. Nanti setelah berjalan menjauh dari lokasi sekolah dan Hari mulai tenang, baru ayahnya mulai bertanya seadanya.
"Kenapa menangis nak?" tanya sang ayah.Â
"Saya tidak suka kelompokku kalah, sia-sia saya pelajari materinya," jawabnya.
Dalam hati ayahnya, baguslah, itu artinya Hari mulai merasa bertanggungjawab.
"Lah, bukankah kalah menang itu biasa dalam permainan nak? itu berarti masih ada yang lebih menguasai di bandingkan kelompoknya Hari. Lagi pula nak, tidak ada yang sia-sia dalam belajar, permainan itu hanyalah salah satu teknik guru memicu kamu supaya termotivasi untuk mau belajar." Jawab ayahnya membesarkan hatinya.Â
"Bukan soal kalahnya Ayah, tapi Pak Guru kayak tidak adil, padahal kami yang duluan tapi tidak diberi kesempatan." Hari mengemukakan penilaiannya.