Mohon tunggu...
Karnain Mamonto
Karnain Mamonto Mohon Tunggu... Guru - Guru

Mengajar, membaca dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menolak ke Sekolah

2 Mei 2024   00:32 Diperbarui: 2 Mei 2024   00:37 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia duduk mematung di tepi ranjang memandangi kosong. Layar hitam TV yang tak dialiri arus dengan kabel menjulur dari sumber arus di samping stop kontak di dinding, membisu di pojok lain. Dalam hitungan detik Ia menyelinap ke kamar begitu saja sambil berkata, "Saya tidak mau sekolah." Begitu Hari berseloroh. 

Pagi itu hujan deras. Namun, ayahnya yakin itu tidak mungkin jadi alasan. Bukan sekali dua kali ayahnya mengantarkannya ke sekolah saat hujan di pagi hari. 

Ibunya bertanya, "kenapa tidak mau ke sekolah nak?"

"Saya rasa tidak enak badan ibu," jawabnya. 

Lho, kok sudah mulai membuat alasan, pikir sang ayah. Padahal, biasanya Hari tidak memberikan alasan apapun jika disuruh ke sekolah meski ia terlihat kurang sehat sekalipun. Bahkan jika ayah dan ibunya berkunjung keluar daerah, Hari rela untuk tidak membersamai karena alasan sekolah.

***

Hari, dua belas tahun, siswa setingkat SD di salah satu sekolah di kotanya, berencana menjadi ilmuan. Ia tidak tinggi dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, bobot badan tergolong rendah dibandingkan dengan usia dan ukuran tinggi badan, meskipun ada tanda lahir yang mengalir di pipinya meneruskan untaian rambutnya yang jatuh hingga terlihat seolah jambang. Ketika berbicara ia tak seirit badannya. Percakapannya selalu mengalir. Apalagi jika sudah menyangkut sejarah lebih-lebih sejarah perang dunia kedua, ia tampak bersemangat.

Ada sesuatu yang merisaukan, membuat miris dan membingungkan tentang Hari. Ketika ia tertekan atau ditekan, matanya melotot seolah menantang. Ia akan diam sambil memandang subjek seolah memikirkan bagaimana ia akan mengatasi tekanan. Apalagi jika ia sampai merasa harga dirinya jatuh dia akan melawan dengan segala kekuatannya. Dan apabila ia merasa dirinya tak sanggup melawan, ia akan mencurahkan dengan cara lain. Menangis salah satu yang ia lakukan jika sudah tak berdaya. Meski begitu, ia selalu sungguh-sungguh jika menyelesaikan sesuatu.

***

Ayahnya teringat kejadian sehari sebelumnya. Saat itu masih di perjalanan pulang dari tempat tugas dan telpon genggamnya berdering. Dari layar benda berukuran seubin itu tertulis nama ibunya, saat ayahnya menggeser tanda yang biasa muncul layaknya orang menerima telepon, keluar suara, "Ayah di mana?" 

"Di jalan", jawab sang ayah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun