Fenomena Flexing di Media Sosial: Gaya Hidup atau Tekanan Sosial bagi Mahasiswa?
Di era digital kayak sekarang, media sosial udah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, banyak dari kita yang nggak bisa lepas dari Instagram, TikTok, Twitter (atau X), dan sebagainya. Tapi, makin ke sini, media sosial bukan cuma tempat buat cari hiburan atau update kabar teman, tapi juga jadi ajang "pamer" --- alias flexing.
Buat kamu yang belum familiar, flexing itu istilah kekinian buat orang yang suka memamerkan kekayaan, gaya hidup mewah, atau barang-barang branded di media sosial. Mulai dari OOTD (outfit of the day) seharga jutaan, staycation di hotel bintang lima, nongkrong di kafe hits, sampai unboxing gadget terbaru --- semua diposting dengan caption manis, kadang diselipin quote motivasi biar nggak keliatan terlalu sombong. Padahal, intinya tetap: pamer.
Nah, masalahnya bukan di pamer-pamernya, tapi dampaknya. Khususnya buat anak muda dan mahasiswa, budaya flexing ini punya pengaruh yang nggak main-main, lho. Yuk kita bahas lebih dalam.
Flexing dan Budaya Banding-Bandingin Diri
Manusia pada dasarnya suka membandingkan diri dengan orang lain. Dan media sosial bikin itu jadi lebih gampang dan lebih sering terjadi. Waktu lihat teman upload foto liburan ke Bali, pakai outfit dari brand mahal, atau baru beli iPhone terbaru, perasaan minder atau iri itu kadang muncul tanpa sadar.
Bagi mahasiswa, yang sebagian besar masih mengandalkan kiriman dari orang tua atau kerja sambilan, melihat gaya hidup hedon kayak gitu bisa bikin muncul tekanan mental. Banyak yang akhirnya merasa hidupnya kurang keren, kurang mampu, atau bahkan gagal. Padahal, yang ditampilkan di media sosial itu cuma sebagian kecil dari realita --- dan seringnya, yang ditampilkan adalah versi paling perfect dari hidup seseorang.
Flexing Bikin Gaya Hidup Konsumtif
Dampak paling nyata dari budaya flexing adalah munculnya gaya hidup konsumtif. Demi terlihat keren di media sosial, banyak anak muda yang rela ngutang, maksa beli barang branded, atau ikut tren yang sebenarnya nggak sesuai sama kondisi keuangan mereka. Ada istilah "biar tekor asal kesohor" --- ini udah jadi kenyataan buat sebagian mahasiswa.
Contohnya, ada mahasiswa yang rela nyicil iPhone terbaru padahal kebutuhan kuliah seperti buku, laptop, atau biaya praktikum masih terbengkalai. Ada juga yang bela-belain nongkrong di kafe mahal tiap minggu cuma biar bisa upload story. Ujung-ujungnya? Dompet kering, utang menumpuk, dan stres makin tinggi.
Tekanan Sosial dan Kesehatan Mental
Budaya flexing ini juga berkaitan erat sama tekanan sosial. Mahasiswa yang merasa "nggak sekeren" teman-temannya di media sosial bisa ngerasa rendah diri. Muncul perasaan FOMO (Fear of Missing Out) --- takut ketinggalan tren, takut nggak dianggap gaul, takut dinilai nggak sukses. Lama-lama, ini bisa berdampak ke kesehatan mental: mulai dari cemas, stres, sampai depresi.
Apalagi kalau mahasiswa tersebut udah berjuang keras untuk kuliah sambil kerja, tapi tetap merasa kurang dibanding teman yang kelihatan "sukses" di Instagram. Padahal kita nggak pernah tahu, bisa jadi yang keliatan kaya juga sebenarnya hasil dari gaya hidup pura-pura dan cicilan kartu kredit.