Mohon tunggu...
Kareina Azzahra
Kareina Azzahra Mohon Tunggu... 24107030012

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Manisnya Tradisi Jogja dalam Semangkuk Jenang Mbah Satro

27 Mei 2025   10:17 Diperbarui: 27 Mei 2025   11:19 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kuliner Jenang Mbah Sastro (Sumber: Dokumen Pribadi)

Yogyakarta, atau akrab disapa Jogja, bukan hanya dikenal sebagai kota pelajar atau kota budaya, tetapi juga sebagai surga kuliner yang menyimpan berbagai kekayaan rasa dari masa lalu. Salah satu kuliner tradisional yang masih bertahan di tengah gempuran makanan modern adalah jenang. Di antara banyak penjual jenang di Yogyakarta, ada satu nama penjual jenang yang dikenal di kalangan warga lokal dan mahasiswa: Jenang Mbah Sastro, yang berada di Jalan Ori Papringan, Catur Tunggal, Depok, Sleman.


Saya berkesempatan mengunjungi lapak sederhana milik Mbah Sastro pada suatu pagi yang hangat. Berlokasi tak jauh dari kawasan kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tempat jualan beliau cukup sederhana: hanya meja panjang kecil dan panci-panci besar berisi berbagai jenis jenang, mulai dari jenang sumsum, jenang grendul, jenang mutiara, hingga jenang ketan hitam. Yang membuat saya terkesan, tak hanya rasa jenangnya yang nikmat, tetapi juga kisah di baliknya.

Mbah Sastro, perempuan sepuh berusia sekitar 70-an tahun, menyambut saya dengan senyum hangat. Meski usia tak lagi muda, beliau tetap melayani pembeli dengan cekatan. Saya kemudian meminta izin untuk mewawancarainya sejenak, sambil menyantap semangkuk jenang campur buatannya.

"Dulu saya mulai jualan jenang ini tahun 1985," cerita Mbah Satro. "Awalnya cuma bawa dua panci, itu pun sering tidak habis. Tapi lama-lama orang suka, ya saya teruskan sampai sekarang."

Beliau bercerita bahwa resep jenang yang dijualnya merupakan warisan turun-temurun dari ibunya. Tak ada takaran pasti, semua dibuat dengan 'rasa' dan 'titen' --- kearifan lokal dalam meracik bahan dengan intuisi. Jenang buatannya dibuat setiap subuh, dari bahan-bahan alami seperti tepung beras, gula kelapa, santan segar, dan daun pandan. Tak ada bahan pengawet atau pewarna buatan.

"Dulu saya belajar dari ibu saya. Ia dulu sering bikin jenang kalau ada acara selamatan atau kenduri. Saya perhatikan, saya tiru, lalu saya coba jual sendiri. Waktu itu, awalnya bawa dua panci kecil saja, tapi karena banyak yang cocok, akhirnya saya tambah terus sampai sekarang bisa bawa lima jenis jenang tiap pagi."


Jenang sendiri memiliki makna budaya yang mendalam bagi masyarakat Jawa. Ia bukan sekadar makanan, tapi simbol doa dan harapan. Dalam berbagai upacara adat, seperti mitoni (tujuh bulanan kehamilan), selapanan bayi, hingga kenduri, jenang selalu hadir sebagai bagian dari simbolisasi spiritual. Menyantap jenang berarti juga menyatu dengan akar tradisi yang telah hidup berabad-abad.

"Saya senang kalau anak muda sekarang masih suka jenang," kata Mbah Sastro dengan mata berbinar. "Saya kira sudah tidak ada yang suka makanan kayak gini. Tapi ternyata banyak juga mahasiswa datang beli, apalagi kalau pagi-pagi."

Saya pun bertanya apakah beliau pernah berpikir untuk berhenti berdagang. Beliau menggeleng pelan.

"Saya ini bukan cuma jualan. Ini ibadah juga. Selama tangan ini masih kuat, ya saya akan terus masak. Kalau saya berhenti, siapa lagi yang mau teruskan tradisi ini? Saya juga merasa sedang menjaga doa-doa lama dari leluhur. Jenang itu simbol, bukan cuma untuk perut." ucapnya dengan nada lirih namun mantap.
Pernyataan ini mengesankan saya. Dalam semangkuk jenang, ternyata tersimpan kearifan dan filosofi hidup yang begitu dalam. Di tengah era digital ini, makanan seperti jenang menjadi saksi bahwa budaya kita tak pernah benar-benar hilang, hanya perlu dijaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun