Nasib buruk terjadi pada negara Indonesia tatkala kebangkitan Industri manufaktur Indonesia tidak berlangsung cukup lama. Indonesia dihantam oleh krisis Asia pada tahun 1997-1998 yang menyebabkan kebangkitan sektor industri manufaktur Indonesia menuju kedigdayaan menjadi sirna, hal ini dapat dilihat dari value added manufacturing Indonesia yang menyentuh angka negatif (Grafik. 1).Â
Tertabraknya Indonesia oleh krisis, menjadi hambatan bagi Indonesia kedepannya, Indonesia dihantui oleh mimpi buruk deindustrialisasi prematur.
Reformasi Industri: Menilik Kebijakan ‘Anti Deindustrialisasi’
Secara empiris, tarif rate manufaktur Indonesia secara rata-rata menurun dari 8,2% pada tahun 1998, menjadi 6% secara rata-rata pada tahun 2021 (World Bank, 2024). Hal ini, memberikan insentif kepada perusahaan untuk melakukan perdagangan faktor produksi yang lebih efisien jika melakukan impor.Â
Sejalan dengan penelitian Nurrahma (2013), bahwasanya keterbukaan perdagangan internasional dalam sektor faktor produksi manufaktur memberikan dampak positif kepada industri untuk menciptakan efisiensi maksimal karena penurunan proteksi.Â
Namun, benefit yang diperoleh dari adanya liberalisasi keterbukaan ekonomi Indonesia berpotensi menjadi bumerang jika Indonesia terus mengandalkan impor, manifestasi fenomena deindustrialisasi prematur akan cepat terjadi.
Pemerintah saat ini telah fokus untuk mengatasi isu deindustrialisasi, dan menjalankan beberapa kebijakan untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku, salah satunya menggunakan kebijakan Non Tariff-Measure (NTM), yaitu Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).Â
TKDN adalah kebijakan yang menetapkan standar persentase komponen dalam negeri dalam produksi barang atau jasa tertentu. Saat ini, tingkat kandungan dalam negeri untuk produk Indonesia sekurang-kurangnya memiliki kandungan 25% komponen dalam negeri (Kemenperin, 2022).Â
Kebijakan tentunya bertujuan untuk membuat keseimbangan dalam mewujudkan kemandirian industri, kebijakan bertahap ini dapat melepaskan ketergantungan dalam negeri akan impor bahan baku, meningkatkan teknologi dan inovasi, serta nilai tambah.Â
Namun, yang menjadi pertanyaaan adalah apakah kebijakan proteksionisme ini seutuhnya menjadi peluang Indonesia untuk mendongkrak industri Tanah Air dan keluar dari bayang deindustrialisasi?
Masa Depan Kebijakan TKDN, Apakah Menjadi Peluang?