Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pemicu Katastrofe Iklim: Dunia Pertama atau Ketiga?

29 Oktober 2021   15:55 Diperbarui: 29 Oktober 2021   16:01 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Net zero blah blah blah", ucap Gretta Thunberg ketika bertemu dengan pemimpin dunia dalam acara UN Climate Change Pre-Conference Italia 2021. Kalimat tersebut mengekspresikan kekecewaan terhadap para pemimpin dunia yang belum menurunkan emisi gas rumah kaca, padahal diskusi untuk penanganan perubahan iklim ini sudah berlangsung 30 tahun.

Kita semua tahu bahaya dari perubahan iklim. Penyebab dari hal ini pun sudah diketahui. Akan tetapi, solusi yang tepat belum ditemukan hingga saat ini. Solusi tepat yang penulis maksud di sini adalah solusi yang efektif sebelum makin memburuk. 

Kapan situasi akibat perubahan iklim ini makin memburuk? Dia akan makin memburuk bila tidak ditangani saat ini juga, yang berarti setiap detiknya berjalan, dia kian memburuk.

Solusi yang ada sejauh ini adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif. Artinya,setiap negara harus mengurangi gas rumah kaca. 

Bagaimana caranya? Tentu saja dengan beralih menggunakan teknologi-teknologi yang lebih ramah lingkungan, memasang penangkap karbon,panel tenaga surya, dan lain-lain. Banyak pilihan yang tersedia untuk melakukan transisi besar ini. Akan tetapi,solusi tersebut belum begitu efektif saat ini. Bila sudah, basa-basi kita cukup sampai disini.

Solusi-solusi yang dipikirkan belum bisa direalisasikan, karena semua solusi tersebut tidak murah. Tidak murah, secara khusus bagi negara Dunia Ketiga. Padahal, negara-negara itulah yang paling membutuhkan teknologi tersebut saat ini, karena negara-negara tersebut menghasilkan lebih dari 60% emisi karbon global per tahun 2019. 

Namun, bisa dikatakan bahwa emisi karbon yang dihasilkan negara berkembang merupakan upaya mereka bertahan hidup, sedangkan emisi negara maju adalah emisi hasil gaya hidup penduduknya. Bila melihat sejarah, negara maju mampu meraih status itu karena membangun negaranya. 

Pembangunan negara-negara tersebut juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tidak sedikit. Tidak adil bila negara berkembang tidak memiliki kesempatan untuk membangun negaranya dan keluar dari jurang kemiskinan seperti yang telah dilakukan negara maju.

Perubahan iklim bukan hal yang sepele sehingga ketidakmampuan negara berkembang bisa dimaklumi. Kita tidak boleh menutup mata bahwa emisi karbon saat ini sebagian besar datang dari negara berkembang. Namun, mari simak penjelasan berikut. 

Dengan pendapatan yang tidak begitu banyak, mari kita asumsikan bahwa Dunia Ketiga Memiliki dua pilihan, antara melakukan transisi teknologi agar perubahan iklim tidak kian memburuk, atau membangun negaranya agar masyarakatnya sejahtera. 

Melakukan transisi teknologi tentu saja tidak berarti kesejahteraan penduduk memburuk, tetapi bisa diprediksi bahwa hal tersebut akan terjadi. 

Mungkin lewat pula dalam benak bahwa pembangunan bisa dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan, namun hampir mustahil untuk membangun negara tanpa menghasilkan emisi karbon dengan jumlah sedikit. Bila solusinya hanya dua opsi tersebut, tentu saja sukar untuk memilih.

Sekarang mari kita lihat apa saja hal positif dari memprioritaskan pembangunan negara. Pertama-tama, sudah menjadi kewajaran bila negara berkembang menyumbang emisi karbon paling banyak secara global karena penduduknya berjumlah lebih dari 50% populasi dunia. Ini tidak sulit dipahami, sebab setiap aktivitas dan proses pemenuhan kebutuhan manusia pascamodern saat ini cenderung menghasilkan emisi gas rumah kaca. 

Untuk lebih menjelaskan mengenai mengapa jumlah penduduk menjadi salah satu penentu  jumlah emisi, ilustrasi indah di bawah ini dapat menjelaskannya

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Pembangunan negara dapat mengurangi jumlah penduduk di masa mendatang. Bila pembangunan negara diabaikan, populasi akan tetap meningkat, dan pada akhirnya emisi karbon akan makin tinggi. 

Banyak negara yang telah mengalami penurunan fertility rate secara tidak langsung melalui pembangunan negara, dengan catatan pembangunan tersebut juga meliputi pembangunan kualitas pendidikan dan kesehatan.

Alasan di atas membuat prioritas pembangunan negara di situasi ini menjadi masuk akal. Namun, mari kita telaah kembali ilustrasi di atas. Hal lain yang mempengaruhi emisi karbon adalah PDB per populasi. 

Pembangunan negara pastinya akan meningkatkan PDB. Bahkan, kenaikan PDB memiliki dampak lebih besar terhadap peningkatan emisi karbon ketimbang peningkatan populasi. 

Grafik di bawah dapat menunjukan seberapa besar pengaruh peningkatan PDB terhadap emisi karbon. Artinya, bagaimanapun juga emisi karbon akan tetap dihasilkan oleh negara berkembang, baik di masa kini maupun masa mendatang.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Pemaparan sebelumnya membuat harapan sirna sejenak. Namun ternyata, sudah ada beberapa negara yang mampu menghentikan tren korelasi positif antara peningkatan PDB dan peningkatan emisi karbon. Negara-negara tersebut adalah Inggris, Jerman, Italia, dan beberapa negara lainnya. 

Mereka adalah negara maju dengan kualitas yang jauh berbeda dengan negara berkembang, namun tetap saja hal-hal ini menunjukan bahwa masih ada harapan untuk mengurangi emisi karbon sambil membangun negara berkembang.

Harapan tersebut dapat diwujudkan dengan bantuan negara maju. Negara maju membantu negara berkembang untuk melakukan transisi teknologi ramah lingkungan sembari negara berkembang membangun negaranya. 

Mau tidak mau, negara maju harus membantu negara berkembang, tentu saja karena perubahan iklim adalah masalah global. Bisa saja negara maju memasukan skema bantuan ini ke dalam akun piutang mereka. Akan tetapi ada alasan lain untuk membuat negara maju mau membantu negara berkembang dengan ikhlas.

Perlu diketahui bahwa fenomena perubahan iklim saat ini terjadi akibat akumulasi emisi gas rumah kaca dari tahun ke tahun. Penulis menekankan bagian akumulasi. 

Sekarang mari kita berpikir., Negara maju berhasil menjadi negara maju karena mereka telah membangun negaranya. Tentu saja pembangunan negara bukan tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca sama sekali.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Dengan melihat data di atas, terdapat ketimpangan distribusi emisi karbon. Bisa dilihat bahwa negara negara berpendapatan tinggi telah mengeluarkan emisi karbon paling banyak sejak 1850. Dengan fakta ini, apakah berarti negara berkembang sebenarnya tidak perlu berutang? Atau bahkan mereka memiliki piutang?

Selain itu, perlu diketahui bahwa saat ini negara maju menghasilkan emisi karbon yang tidak sedikit pula. Emisi karbon/ kapita dari negara maju jauh lebih besar dari emisi karbon/kapita dari negara berkembang. Emisi karbon yang dihasilkan oleh satu orang Amerika, sama dengan emisi karbon yang dihasilkan 8 orang Indonesia. Ini berarti bahwa, tidak hanya negara berkembang yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini, tetapi negara maju pula.

Baiklah, sekarang kita tahu bahwa baik negara maju maupun berkembang sama-sama memiliki kontribusi yang tidak sedikit terhadap terjadinya perubahan iklim. 

Negara berkembang perlu berusaha ekstra untuk meminimalisir emisi karbon akibat pembangunan negaranya. Negara maju dapat membantu negara berkembang untuk meminimalisir emisi karbon, mengingat perubahan iklim adalah masalah global serta utang masa lalu yang telah ditimbulkan negaranya. 

Negara maju sendiri perlu membenahi kembali emisi karbon yang dihasilkan negaranya. Penjelasan di atas menunjukan bahwa negara maju memiliki akumulasi tanggung jawab yang cukup besar. Hal tersebut juga berarti bahwa negara maju adalah pemimpin global saat ini untuk mencapai net zero emission.

Refrensi

Dewan, A. (2021, September 29). Greta Thunberg roasts world leaders for being 'blah, blah, blah' on climate action. Retrieved from edition.cnn.com

Global Carbon Project (2020) dataset: Friedlingstein et al, Global Carbon Budget 2020, Earth Syst. Sci. Data, 12, 3269--3340, doi.org.

Greenspan A. (1992). Fertility decline in Bangladesh: an emerging family planning success story. Asia-Pacific population & policy, (20), 1--4.

King, A. D., & Harrington, L. J. (2018). The Inequality of Climate Change From 1.5 to 2C of Global Warming. Geophysical Research Letters. doi: doi.org

Kurzgesagt -- In a Nutshell.  (2020, September 29). Is It Too Late To Stop Climate Change? Well, it's Complicated [Video]. YouTube. www.youtube.com

Kurzgesagt -- In a Nutshell. (2020, June 21). Who Is Responsible For Climate Change? -- Who Needs To Fix It? [Video]. YouTube. www.youtube.com

Ritchie, H., & Roser, M. (2020, May 11). CO and Greenhouse Gas Emissions. Retrieved fromourworldindata.org

Ritchie, H., & Roser, M. (2020, May 11). Emissions drivers. Retrieved from ourworldindata.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun