Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mengurai Kemacetan dengan "Membayar Lebih"

10 Mei 2019   19:16 Diperbarui: 13 Mei 2019   09:34 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kepadatan arus lalu lintas Tol Cikampek di kawasan Bekasi Barat, Jawa Barat, Senin (17/7/2017). | Foto: KOMPAS/RIZA FATHONI

Pekerja menghasilkan barang dan/atau jasa yang lebih sedikit dalam periode waktu yang lebih panjang, sehingga biaya produksi barang dan/atau jasa tersebut pun meningkat.

Kedua, kendaraan-kendaraan yang terjebak macet seringkali bertugas untuk membawa barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Semakin lama suatu kendaraan berada di jalan, biaya transportasi, yang termasuk biaya bahan bakar kendaraan, semakin meningkat dan sebagai konsekuensinya harga barang yang dimobilisasi ikut meningkat pula.

Ketiga, ada environmental cost yang harus dibayar oleh masyarakat akibat emisi karbon dari knalpot kendaraan-kendaraan yang terjebak kemacetan di jalan. Emisi tersebut mengangkut zat polutan ke dalam lingkungan, mencemarinya, dan secara perlahan mendeteriorasi kualitas hidup makhluk yang tinggal di dalamnya.

Sebelum bergerak untuk mengurai kemacetan, terkhusus di Jakarta, dan merekonsiliasi kota dari kerugian multidimensi yang ditimbulkannya, kita perlu menyusuri permasalahan ini sampai ke akarnya.

Biang Kemacetan

Kemacetan adalah penyakit menahun yang diderita kota-kota terpadat di dunia, tidak terkecuali Jakarta. Tingginya jumlah manusia dan tingkat mobilitas mereka ke dalam dan luar Jakarta yang diiringi dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, yang terus bertambah dengan kecepatan 12% per tahun, tak menunjukkan tanda-tanda akan mengalami penurunan.

Data ini kontras dengan pertumbuhan jalan raya di Jakarta yang hanya sebesar 0,01% dalam setiap tahun. Selain itu, dalam beberapa waktu terakhir terjadi penyempitan jalan raya secara temporer karena berbagai proyek pembangunan infrastruktur seperti jalur MRT dan LRT.

Luasan jalan raya yang terbatas dan pertumbuhannya yang relatif lambat tentu tidak cukup mengakomodasi kebutuhan mobilisasi puluhan juta jiwa. Sebagai akibatnya, berbagai jenis kendaraan bermotor, mulai dari mobil, motor, bus, hingga truk, harus berkompetisi dan berdesak-desakan demi mencapai destinasi tujuan.

Kecuali Jakarta dapat menemukan suatu cara untuk mengekspansi luas daerahnya, gejala-gejala yang telah diangkat ini mengindikasikan bahwa kemacetan hanya akan terus teramplifikasi dan memburuk seiring berjalannya waktu.

Kemacetan juga dipicu oleh keengganan warga Jakarta untuk menggunakan moda transportasi umum. Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan baru-baru ini mengklaim bahwa telah terjadi penurunan drastis dalam proporsi pengguna angkutan umum dari 49% menjadi hanya 19% dari seluruh warga Jakarta.

Sebagai pembanding, ada 87 kendaraan pribadi yang dimiliki warga Jakarta untuk setiap unit moda transportasi umum. Minimnya armada transportasi umum inilah yang mungkin membuat warga Jakarta ragu-ragu untuk memilihnya sebagai moda transportasi utama mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun