Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Antara Pisang dan Gedang, Keunikan Bahasa-bahasa Nusantara

28 Juni 2020   01:00 Diperbarui: 10 Juni 2021   11:13 29471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buah pisang (Sumber: Thinkstock via Kompas.com)

Bagi orang Jawa, pisang dan gedang itu buah yang sama. Tapi tidak bagi orang Sunda, pisang itu berbeda dengan gedang.

Kalau orang Jawa menyebut "gêdang", maka yang dimaksud adalah buah pisang dalam bahasa Indonesia. Tapi "gêdang" yang disebut oleh orang Sunda, itu menunjuk kepada buah pepaya dalam bahasa Indonesia.

Singkatnya, "gêdang" adalah kata dalam bahasa Jawa untuk buah pisang. Sedangkan "gêdang" dalam basa Sunda adalah buah pepaya. Untuk buah pepaya, orang Jawa menyebutnya dengan "katès." Sementara pisang dalam bahasa Sunda adalah "cau."

Jadi kalau orang Jawa datang ke daerah Sunda membawa "gêdang", sampai di tempat tujuan berubah menjadi "cau". Sebaliknya kalau orang Sunda membawa "gêdang" ke daerah Jawa, akan berubah menjadi "katès."

Baca juga: Perkembangan Kosakata Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah

Pusing ya pembaca? Tapi gak usah terlalu dipikirin, ini cuma cerita ringan aja kok. Cerita tentang keunikan bahasa daerah sebagai bagian dari keindahan budaya Nusantara.

Yang unik, kata pisang dalam terminologi umum (biar keren sedikit) masyarakat Sunda, khususnya para penutur tradisional basa Sunda tidak selalu identik dengan buah pisang dalam bahasa Indonesia. Kok bisa?

Wahyutink.com
Wahyutink.com
Ya seperti dikemukakan di atas, ketika berbicara dalam bahasa Indonesia, orang Sunda tentu menggunakan kata pisang bukan cau. Tapi kata pisang, biasa digunakan juga dalam percakapan basa Sunda.

Namun penggunaan kata pisang dalam percakapan orang Sunda, bukan menunjuk kepada nama buah dalam bahasa Indonesia. Kalau anda mengenal penganan berbahan dasar pisang, digoreng terbungkus tepung terigu, maka kita akan menyebutnya sebagai pisang goreng.

Nah orang Sunda menyebut pisang goreng, hanya dengan kata pisang. Jadi pisang menurut orang Sunda adalah cau yang digoreng. Sampai di sini tampak bahwa pisang identik dengan cau.

Baca juga: Pentingnya Leksikografi Dalam Pelestarian Bahasa daerah

Namun, pisang tidak selalu cau. Pisang bisa juga menunjuk kepada peuyeum sampeu (tape singkong).

Kalau pisang yang digoreng disebut pisang cau, maka ketika tape singkong digoreng dengan cara yang sama, tidak disebut peuyeum goreng tapi pisang peuyeum. Maka jadilah ada penganan yang bernama pisang cau dan pisang peuyeum.

Dokpri
Dokpri
Saya tidak tahu kenapa dan mulai kapan kata pisang dalam bahasa Sunda bisa bergeser seperti itu. Orang Sunda menyebut pisang cau untuk pisang goreng, dan pisang peuyeum untuk tape yang digoreng. Saya menduga, sekali lagi ini hanya dugaan, ini disebabkan oleh 2 hal.

Pertama, karena alasan kepraktisan dalam penyerapan bahasa Indonesia. Pisang goreng adalah bahasa Indonesia, sementara basa Sundanya goreng cau (bukan cau goreng).

Dengan derasnya pengaruh bahasa Indonesia kepada para penutur basa Sunda, maka istilah-istilah yang berasal dari bahasa Indonesia mendesak keberadaan istilah-istilah basa Sunda.

Istilah pisang goreng menjadi lebih populer daripada goreng cau. Namun untuk alasan kepraktisan hanya diambil satu kata saja yaitu pisang. Jadi kata pisang itu identik dengan pisang goreng.

Baca juga: Uniknya Banten, Satu Wilayah dengan Tiga Bahasa Daerah, Apa Saja?

Sementara itu ada yang lain yang sangat mirip dengan pisang goreng yaitu peuyeum yang digoreng dengan cara yang sama dengan pisang goreng, maka jadilah goreng peuyeum itu sebagai varian dari pisang. Dengan demikian ada 2 jenis pisang, pisang cau dan pisang peuyeum.

Penyebab kedua adalah kata goreng, yang dalam basa Sunda berarti jelek, buruk. Kagorengan bermakna kejelekan atau keburukan.

Cau goreng atau peuyeum goreng bermakna pisang atau tape yang jelek. Sehingga penutur basa Sunda menghindari penggunaan kata goreng sebagai kata sandang. Kata goreng ditempatkan di depan kata benda untuk menghindari konotasi jelek.

Ini berbeda dengan nasi goreng, penutur basa Sunda tradisional akan mengatakan sangu goreng bukan goreng sangu. Karena apa, karena awalnya nasi goreng memang dibuat untuk menyelamatkan nasi yang sudah jelek (basi) agar tetap bisa dimakan.

Tentu sangu goreng hanya ada di masyarakat Sunda, tidak dengan masyarakat Jawa. Sangu yang bagi orang Sunda berarti nasi, bagi orang Jawa berkonotasi uang. Nyangoni dalam bahasa Jawa bermakna memberi sejumlah uang. Jadi bagi orang Jawa sangu tidak mungkin digoreng. Masa uang digoreng, gak akan laku dong.

Tapi uang bisa digoreng kalau berwujud saham yang diperdagangkan di bursa efek. Dan menggoreng saham konon menjadi keahlian khusus, yang hanya segelintir orang yang punya keahlian menggoreng saham.

Ahh jadi ngelantur ke menggoreng saham segala nich. Mohon maaf pembaca ini kan cuma cerita ringan aja ya.

Salam
< Kang Win, Juni 26, 2020 >

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun