Mohon tunggu...
teteh...
teteh... Mohon Tunggu... kerja di Chatay Pasific aja...

---------

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sakura..... Yeeee

21 September 2025   01:48 Diperbarui: 21 September 2025   01:48 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sakura dan Ruang Gema di Paris


Sakura, seorang peneliti muda yang bersemangat dari Tokyo, berdiri di depan cermin, merapikan setelan kerjanya. Hari ini adalah hari pertamanya di kantor pusat UNESCO di Paris. Ia ditugaskan dalam sebuah proyek krusial: mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum pendidikan di negara-negara berkembang. Tugas ini terasa berat, mengingat ia baru berusia 25 tahun dan jauh dari rumah.
Di Jepang, ia adalah seorang aktivis yang lantang menyuarakan hak-hak perempuan. Namun, di Paris, di tengah keragaman budaya dan bahasa, suaranya terasa kecil. Ruang rapat dipenuhi para ahli dari berbagai negara, semuanya dengan ide-ide brilian dan pengalaman yang luas. Sakura sering merasa terintimidasi, takut gagasannya akan tenggelam.
Suatu sore, saat ia sedang membaca laporan di perpustakaan UNESCO yang megah, seorang wanita paruh baya dengan rambut keperakan menyapanya. "Kau terlihat cemas," katanya dengan senyum hangat. "Aku La, dari tim komunikasi. Kau Sakura, kan?"
Sakura mengangguk. Ia menceritakan kecemasannya, tentang bagaimana ia merasa tidak setara di antara para ahli yang lebih senior. La tersenyum. "Kau tahu, gedung ini dibangun di atas fondasi yang sama dengan banyak masyarakat di seluruh dunia: hierarki dan bias. Tugas kita bukan hanya mengubah kurikulum, tetapi juga mengubah cara kita melihat satu sama lain," ucapnya lembut.
La kemudian membawa Sakura ke sebuah ruangan kecil yang berisi koleksi arsip. Ia menunjukkan sebuah foto lama. Dalam foto itu, ada sekelompok wanita pemberani yang berjuang untuk hak pendidikan di masa lalu. "Mereka juga memulai dari nol. Suara mereka awalnya hanya gema, tetapi mereka terus berbicara sampai gema itu menjadi gelombang," kata La. "Tugas kita adalah menjadi ruang gema itu. Kita harus memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini dibungkam."
Kata-kata La memberi Sakura keberanian baru. Ia menyadari bahwa ia tidak harus menjadi yang paling senior atau paling berpengalaman untuk membuat perbedaan. Ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri, menggunakan pengalamannya sebagai wanita Jepang yang berjuang di tengah budaya yang patriarkis, untuk memberikan perspektif yang unik dan berharga.
Di pertemuan berikutnya, Sakura tidak lagi diam. Ia berbicara dengan lantang, mempresentasikan gagasannya tentang bagaimana budaya lokal bisa digunakan untuk mempromosikan kesetaraan gender. Ia menggunakan contoh dari dongeng-dongeng tradisional Jepang yang menginspirasi, dan menunjukkan bagaimana nilai-nilai modern dapat disisipkan ke dalamnya.
Gagasannya disambut antusias. Rekan-rekannya terkesan dengan perspektifnya yang segar. Sakura merasa suaranya akhirnya menemukan jalannya. Di tengah gemerlapnya Paris dan prestise UNESCO, ia menyadari bahwa misinya bukan hanya tentang proyek, tetapi tentang keberanian untuk berbicara dan menjadi ruang gema bagi mereka yang suaranya belum terdengar. Ia pulang ke apartemennya malam itu, merasa tidak lagi sendirian. Ia tahu, di setiap sudut dunia, ada wanita-wanita seperti dirinya yang juga berjuang, dan ia adalah bagian dari gelombang yang akan datang.

2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun