Tak boleh terulang lagi. Tak boleh aku tertinggal bus lagi. Cukup!
Bergegas pagi-pagi Naila menyiapkan diri menuju terminal Leuwipanjang. Tujuannya adalah Jakarta. Langkah kakinya terasa pasti, menaiki tangga bus yang tengah bersiap membawanya ke Jakarta.
“Semoga jalanan tidak macet. Aku harus sampe Ciputat sebelum magrib,” doa terucap dari lubuk hatinya.
Sementara bus tiba tepat waktu. Jalanan Lebak Bulus tampak mengagetkan Naila. Deretan tiang MRT dan kondisi terminal yang tak tersisa menyambutnya dengan hangat. Akhirnya kembali menghirup udara ciputat.
“Ini Ciputat? Oh, lama nian aku tak menginjakkan kaki disini”
“ Betul Mba. Sudah banyak perubahan. Emangnya berapa tahun nggakmampir?”
“Hampir enam tahun”
Suaranya datar. Tak menampakan emosi yang berlebihan. Seperti enggan ditebak tentang apa yang membuatnya galau. Padahal dulu selalu dirindukannya. Bukankah dulu pernah berjanji untuk mengunjunginya saat sukses kelak?
Nisa masih tak nyaman berada di samping Naila yang asyik memandangi deretan bangunan menjulang tinggi di sepanjang jalanan Ciputat yang lengang sore itu. Sesekali ia menggaruk kakinya, seperti hendak membuang kekauan yang terus membunuhnya. Padahal sejak tiga minggu lalu ia mempersiapkan diri untuk menjemputnya di Lebak Bulus. Mengapa sekarang begitu dingin dan cenderung cuek? Entahlah. Nisa mencoba santai, meski selalu gagal.
“Ini apartemen mulai menjamur mba. Tandanya Ciputat tumbuh menuju kota modern,” Nisa menunjukan bangunan tinggi menjulang di samping jalanan Ciputat.
“Ia Nis, tapi tetap bagiku Ciputat itu kota mati,” Naila menjawab dengan suara datar, pandangannya masih terbuang di sepanjang jalanan. Seperti hendak menangkap sesuatu yang tengah berlari.