Mohon tunggu...
Jaja Zarkasyi
Jaja Zarkasyi Mohon Tunggu... Penulis - Saya suka jalan-jalan, menulis dan minum teh

Traveller, penulis dan editor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Tatapan Terakhir

12 Juni 2019   15:23 Diperbarui: 12 Juni 2019   15:41 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kenapa tidak kau tuntaskan membacanya?"

"Tidak apa-apa. Hanya lelah saja"

"Boong!! Matamu masih tajam memandangku."

"Benar, Sobat. Aku lelah dari pagi harus memandangi laptop"

Segera kumatikan laptop, memasukannya kedalam tas. Kuambil sebotol aqua sekedar melepas rasa lelah.

Kereta kami berjalan pelan, sebelum akhirnya melesat menembus kegelapan malam Kota Jogja yang masih saja ramai.

Setelah berhari-hari, akhirnya kelas juga tugas yang tak pernah aku inginkan.

Ko bisa?

Rasanya enggan saat melihat surat tugas memerintahkanku pergi ke kota ini. Bukan karena makanannya, keramahanya itu yang membuatku tersiksa.

"Berdamai sajalah, bro. Jangan pilih-pilih tugas. Ini jalan yang Tuhan berikan. Jangan ditolak" Begitu sahabatku, Syamsul, biasa menasehatiku saat rasa malas menghinggapi.

Sejak satu bulan ini mereka tak lagi sepenuhnya mempercayai apa yang kuucapkan, bahkan yang aku tulis sekalipun. Sepertinya rasa curiga itu terlalu besar. Cuekin saja, begitu saja cara berdamai yang paling nyaman.

"Kamu ngomongnya aneh, bro. Ga fokus!"

"ia, kerjaan ga kelar-kelar. Yang ada kita harus ikut beresin"

"Aneh, biasanya kamu paling cepet beresin kerjaan. Kesambet apa seh di Jogja?'

Dan masih ada sederet ungkapan para partner kerjaku yang kerap bertanya tentang aku yang aneh ini.

Perasaanku agak aneh sejak kunjungan di awal tahun ini. Ya, meski kerap bolak balik Jakarta-Jogja, namun kali ini kutemukan kekaguman yang tak biasa. Meski tak bisa keujelaskan makna kekaguman itu. Itu seperti wangi yang tak terlihat tapi begitu nyata dirasakan.

"Ati-ati, itu tandanya GPS mu rusak. Segera perbaiki, bisa keseringan kesasar kalau rusak,' kata sahabatku, Indra, seorang ahli di bidang mitologi Jogja. Entahlah!

**

"Bicara sama kamu butuh waktu untuk memahaminya"

"Ah masa seh!! Perasan biasa saja"

"Ia kamu biasa, tapi rangkaian kata-katamu sangat bias untuk aku maknai"

"Mungkin karena budaya kita berbeda ya"

"Bukan. Tapi karena kamu tak bisa menguasai imajimu"

"Maksudnya?"

"Ya, imajimu terlalu liar, kamu ga sadar yang kamu ucapkan sangat bias"

"Emang aku salah apa?"

"Kamu nggak salah. Hanya kurang sensitif"

"Maksdunya?"

"Kamu ga paham bahwa yang diajak bicara itu ga bisa memahmi alur pemikiranmu"

Sejak kamu sering berkunjung ke Kotaku ini, kamu memberiku sebuah horizon baru tentang macam-macam hal: kuliner, hobby dan kehidupan.

Kehidupan? Ya, kehidupan yang selama ini aku jalani datar-datar saja, teks yang kupahami begitu lurus, sejak kedatanganmu jalan itu ga lagi datar. Tapi kadang boleh berkelok, tak harus mengikuti norma kewajaran.

Teks, baik yang tersurat maupun tersirat, tak lagi tunggal maknanya. Kamu menyebutnya sebagai fusion of horizons untuk setiap makna yang sangat subyektif bagi setiap zaman dan waktu.

"Kamu membuat keraguan di atas jalan hidup yang kuanggap mapan selama ini"

"Loh, itu bukan salahku"

"Ia, bukan salahmu. Tapi kelemahanku memahmi horizonmu yang membuat aku tak kuasa memegang keyakinanku ini'

"Kan aku tak memaksamu singgah di horizonku'

"Ia juga seh, tapi caramu membuka horizon baru, itulah yang menariku ke dalamnya"

"Terus, kalau sudah begini, maumu apa?"

"Terlanjur banyak yang rusak dengan GPS ku. Beri aku obat penawarnya"

"Obat penawar? emangnya aku dokter"

"Setidaknya, kalau kamu tau jalan menuju horizon itu, kamu juga pasti tahu cara kembalinya"

"Berapa kuat kamu bisa sabar menahan egomu?"

"Maksudnya?"

"Kalau horizon itu berhasil kau daki dan kau genggam, seberapa kuat egomu tak membawamu pada kekufuran?"

"Sebesar itukah bahanya?"

"Ya, karena itu aku harap kamu tak usah ikut menuju horizon itu"

"Tapi kamu dah mengajaku terlalu jauh. Aku nggak bisa mundur lagi"

"Baiklah. Aku tak bisa menghalangimu jika itu sudah menjadi pilihanmu"

Sejak saat itulah, aku diajak menjelajahi horizon baru yang diisi oleh para hukama dan sufi yang tak jarang susah aku pahami bahasanya. Ikhwanu Shoffa adalah lembaran pertama yang ia ajarkan padaku. Sebuah catatan yang harus kulangi 10 kali untuk sekedar bisa memahaminya.

"Berat juga ya memahaminya" Begitu kadang berniat mundur.

Kita itu tak terlalu lama saling mengenal. Tapi cara kamu mengajaku berbincang, sepertinya sangat paham apa yang aku inginkan. Selalu ada jawaban untuk pertanyaan yang biasa mengganggu alam pikiranku.

Bukan hanya puitis, kata-katamu juga bersayap. Kadang kupahami sebagai sebuah ajakan, tapi kamu tak pernah menyebutnya ajakan. Bahkan kamu cuek untuk membuktikan ajakan itu.

GPS ku kerap rusak sejak itu. Kadang aku kesulitan kembali di kehidupan normal yang dahulu memberiku ketenangan.

**

"Kenapa WA ku tak juga kau baca?"

"Belum sempet"

"Belum sempet atau nggak berani membacanya"

"Sudah pinter sekarang ya. Tau aku nggak berani membacanya, eh malah kau kirim"

"Kenapa nggak berani membacanya. Kan tinggal baca, lalu kamu jawab atau cuekin. Simpel kan!!"

"Bukan itu. Aku takut ada huruf yang terlewat aku baca karena fokusku hilang akibat narasi WA mu"

"Terus, WA ku akan terus kamu biarkan tak terbaca?"

"Biarkan saja, biarkan menjadi tanda tanya Kotamu"

"Penakut!!"

Sejak saat itulah rasa bersalahku tak kunjung menghilang, bahkan terus memuncak. Jantungku seakan berhenti di tatapan terakhirmu, dan sejak saat itu mataku tak lagi kuat membuka whatsapp atau medos lainnya.

Pantai Indrayanti 2019

Sebuah narasi untuk Mas bro

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun