"Kok tidak diterima saja to, Mas" pinta Hesti.
"Lho Bu, apa kamu tidak tahu. Saya masih trauma dengan semua itu. Dengan mesin gergaji, kayu. Rasa-rasanya, jika berhadapan dengan semua itu, mereka seakan ingin menghantamku lagi."
"Alasan Mas saja. Mana ada benda-benda itu menghantammu. Yang ada, semua kebutuhan yang di depan mata, semua ingin menghantam Ibu. Mana cukup, Mas. Hasil berjualan jagungmu untuk memenuhi semua kebutuhan ini!"
Bagi Hesti, sungguh teramat berat memutar penghasilan suaminya itu untuk semua kebutuhan sehari-hari. Tak ada pilihan lain, selain dirinya juga harus bekerja. Meski dulu, Suman memang pernah melarangnya. Cukup sebagai ibu rumah tangga saja. Semua keperluan, adalah tanggung jawabnya sebagai seorang suami.
"Aku harus kerja, Mas." Kata Hesti.
"Bersabar lah dulu. Nanti aku juga akan mendapatkan penghasilan seperti yang dulu."
"Dari mana? Dari mana Mas bisa mendapatkannya. Jika tawaran Juragan Abas saja Mas tolak. Saya pokoknya harus kerja."
"Kamu mau kerja apa?"
"Aku mau kerja di Pabrik."
"Siapa yang akan mengurus anak-anak jika kamu bekerja."
"Kan ada Kamu, Mas."