Oleh : Nur Azis
Meski ditabur seribu bunga pun, bau busuk itu tetap saja  menyeruak. Menyengat dan membuat gelisah, siapa saja yang mengendus. Ada bersitan luka yang masih menganga. Pedih, dan terpaksa, semua harus ikut merasakannya.
Haryati, seperti dedaunan pada musim kemarau. Kering dan layu. Dia tak ingin memberikan beban pada ranting pohon, untuk terus menggenggam. Daun yang tak lagi hijau itu berharap, ada angin besar yang datang menghempas, hingga terkulai, melayang mengakhiri semua beban pada dirinya.
Apa pun yang terjadi pada diri Haryati, tak pernah sekalipun disesali oleh Mak Jah, ibunya. Bagi perempuan renta itu, semua yang terjadi adalah garis kebijakan yang maha sempurna. Tak bisa ditentang, apalagi dilawan. Harus dihadapi dengan hati yang lapang.
"Sudah ... sudah ... berhentilah menangis Nduk." Mak Jah, mencoba menenangkan Savira. Entah siapa yang mengganggunya, dia menangis, padahal dari tadi dia terlihat sedang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Gadis kecil itu, lahir tujuh tahun yang lalu. Buah cinta Haryati dengan Marlan. Lelaki tampan, yang dulu pernah bersumpah di depan penghulu, akan mencintai Haryati sehidup semati.
"Nduk ... coba lihat ke sana ..." Mak Jah menunjuk pada ayam peliharaannya. Jumlahnya puluhan, mereka sedang berkumpul memperebutkan makanan.
"Nanti kalau kamu tidak menangis lagi, mak akan menjual ayam itu ... uangnya, nanti akan kita gunakan untuk membeli boneka yang paling cantik, seperti kamu Nduk." Mak Jah terus menghibur cucunya.
"Cantik seperti Ibu, ya Mbah?" tanya Savira, dengan suara memancar.
Seketika senyum Mak Jum mengembang. "Iya Nduk ... Secantik ibumu. Dia adalah perempuan paling cantik di muka bumi ini." Hibur Mak Jum.
"Tapi, kenapa teman-teman Savira selalu mengejek ibu? Mereka selalu mengatakan, ibu gila ... ibu gila ..." tanya Savira dengan suara terisak.