Kembali suara riuh dari kerumunan itu ku dengarkan. Seperti mendapat tema baru lagi. Tema yang paling up to date. Yang langsung mereka saksikan di hadapan mereka sendiri. Lagi-lagi, tak ada simpati apalagi empati. Justru tawa mereka menyeruak, hingga ke seluruh bangunan restoran.
Masing-masing dari kerumunan itu mulai angkat suara. Menceritakan gosip-gosip tentang wanita yang bergamis tadi. Kali ini, wanita yang berambut pirang. Dia bercerita, sesungguhnya dia sudah mengetahui lama, perbuatan suami temannya itu. Bahkan dulu, suaminya pernah mengajaknya untuk berkencan. Lagi-lagi tawa mereka menyeruak.
Pembicaraan semakin riuh. Semua tentang keburukan wanita yang baru saja bertengkar dengan suaminya. Ah ... bukankah, wanita itu tadi baru saja membicarakan temannya yang tidak berangkat hari itu. Lantas kenapa yang lain begitu berapi-api, menceritakan keburukan wanita bergamis itu. Bukankah mereka takut, pertemuan berikutnya mereka yang akan menjadi topik pembicaraan itu.
Melihat kejadian itu, membuat pikiranku berubah. Barangkali, kemewahan yang ditunjukkan oleh ibu-ibu dalam kerumunan itu adalah sesuatu yang semu. Kemewahan yang sengaja di cipta untuk suatu persaingan. Untuk suatu predikat, tercantik, terkaya, terbahenol atau ter ter yang lainnya.
Untuk apa? Bukankah itu hanya akan menyiksa batin, saat hidup kita di penuhi suatu hasrat yang sekedar untuk memenuhi penilaian orang lain. Amri ... iya, Aku jadi teringat dengannya. Dia laki-laki baik, menyesal aku telah menolaknya. Aku akan menemuinya, memintanya untuk mau menjadi kekasihku.
Kubawa ala-alat makan yang kotor itu ke dapur, melalui sebuah lorong, di suatu ruangan yang sepi, tak sengaja aku melihat, Amri sedang bercumbu mesra dengan Siska, temanku yang juga teman Amri. Secepat itukah Amri mengalihkan perasaannya. Bukankah baru beberapa hari yang lalu aku menolak cintanya kepadaku. Ataukah itu sebuah pelampiasan, aku tak tahu.
Ada perasaan kecewa. Sama saja, nyatanya, Amri dalam sekejap saja bisa langsung mendekati Siska. Aku menjadi ragu, apakah dia benar-benar mencintaiku. Untungnya, aku belum sempat bertemu dengannya, dan menyampaikan keinginanku untuk menjadi kekasihnya. Hehe ... Aku tertawa dalam hati kecilku.
Segera kulangkahkan kakiku, meninggalkan adegan Amri dengan Siska. Segera ku antar piring-piring kotor itu ke dapur. Ku serahkan pada mereka yang bertugas mencucinya. Salah satunya, Orangnya tinggi besar, rambutnya gondrong, tubuhnya penuh tatto. Namun agak gemulai orangnya, dan paling senang dipanggil Mas Berbi imut.
Selesai
Jepara, 20 Desember 2018