Di balik pupur dan gincu. Engkau kulum bara api di manis senyumu, mendidih oleh rasa pedih rasa di hati, terguncang serasa terkoyak hati nurani. Demikian langgam kisah yang mesti engkau jalani, sampai detik ini
Mata bening menenggelamkan kepahitan tak bertepi, rambut sebahu penuh ikatan kepalsuan yang engkau tak peduli lagi. Pada suatu hari, hingga saat ini, bahkan hingga suatu saat nanti. Tunggu tangan malaikat membawamu pergi, dan tak berharap mengingatnya lagi
Di balik gemerlap lampu warna-warni. Sebuah kisah perjalanan meniti dosa kata orang-orang suci. Benarkah ia hina karenanya? Benarkah ia pantas di neraka pada akhirnya
Suci dan ternoda hanya berjarak setipis kata-kata. Hina dan mulia bersanding di pelupuk mata. Mengapa kita yang memvonis suasana? Mengapa kita  merasa memiliki kuasa. Sejak kapan? Sejak angkara murka menggandeng nafsu bertahta dalam keruhnya hati.Â
Dua ribu tahun sebelum kematian, satu juta masa sebelum kelahiran, setiap kita adalah cahaya putih yang menyejukan. cahaya, bahkan terangnya masih tersisa di baris senyum yang telah hampir musnah
Hujatan dan cela, hinaan dan makian, bagai pakaian kehidupan. perhiasan bagi insan terkurung berkubang kepiluan. Diakah? kitakah? Atau semua kita sesungguhnya bagian dari malapetaka. Tanya? Sudahlah, kita tahu apa jawabnya, tapi kita menguburnya bersama rasa
Bagan batu, 27 januari 2020