Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fikih Manhaji sebagai Solusi Bermadzhab secara Dinamis

16 Juli 2020   06:24 Diperbarui: 16 Juli 2020   06:39 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibarat dalam diskursus gramatika Arab pesantren, contoh-contoh yang ada juga ternyata tidak banyak. Namun saat benar-benar dapat menangkap maksud di balik contoh kalimat yang terbatas tersebut, kemudian bisa menemukan benang merahnya, maka akan dapat dijadikan pedoman untuk contoh kasus lain yang tidak terbatas. Demikian pula dalam fikih pesantren.

Dalam artian, sebuah rumusan fikih tidak serta merta berdiri sendiri. Namun disokong oleh banyak diskursus. Seperti ushul fikih, bahkan bidang yang jauh di luar fikih sendiri, seperti praktikum kedokteran untuk menentukan permasalahan yang ada kaitannya dengan kesehatan. Atau ilmu geografi yang sedikit banyak menyumbang dalam penentuan hukum masalah ilmu falak. 

Penguasaan tata bahasa Arab juga membantu menemukan alur pemahaman dalam tendensi ayat suci dan sabda nabi. Sebab tak jarang satu dalil bisa menelurkan banyak pemahaman berbeda, karena berbeda pula cara mujtahid memahami maksud dalil tersebut. Sebuah hadis bisa sangat kaya makna.

Fikih menawarkan solusi untuk setiap permasalahan yang aktual jika dapat mengkajinya dengan jalur manhaji. Namun bila selalu mengandalkan rumusan jadi, bukan mengurutkan benang merah dan memakai penalaran fikih metodologis, maka tentunya wajar bila rumusan fikih dianggap tidak aktual. Bukan rumusannya yang salah. Namun ketidakmampuan dalam mengkaji fikih secara metodologis itulah yang semestinya dipersoalkan.

Demikian pula imam Syafi'i misalnya, yang menyediakan contoh-contoh permasalahan fikih, kemudian murid-murid beliau mampu menggali jalur metodologis bagaimana rumusan tersebut terbentuk, maka hari ini seseorang mestinya juga mampu meniru apa yang telah dipraktekkan ulama salaf tersebut. Dengan cara demikian fikih akan tetap dinamis dan bisa selalu menjawab permasalahan apapun.

Berkembang anggapan bahwa rumusan fikih adalah sesuatu yang dianggap sangat kultus dan tak bisa diganggu gugat. Meminjam istilah K.H. Sahal Mahfudz, kitab kuning dianggap sebagai kitab suci kedua setelah Alquran. Pemahaman semacam itu seperti membuat fikih sulit dipraktekkan secara dinamis.

Padahal cita-cita mempraktekkan fikih dengan dinamis sebenarnya bukan hal yang mustahil. Seperti diungkap oleh K.H. Sahal Mahfudz: 

"Gagasan tersebut (memahami kitab kuning secara kontekstual dan mengurangi interpretasi tekstual yang selama ini cenderung berlebihan) tidak terlalu berlebihan, mengingat bahwa pemahaman kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak. 

Justru dengan pemahaman tersebut, segala aspek perilaku kehidupan akan dapat terjiwai oleh fikih secara kontestual dan tidak menyimpang dari rel fikih itu sendiri. Atau minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang berrninat mengaji referensi pemikiran Islam." (K.H. M.A. Sahal Mahfudz. Nuansa Fikih Sosial. [Yogyakarta, LKiS bekerjasarna dengan Pustaka Pelajar: 1994], halaman 33.)

Cara yang benar agar rumusan fikih senantiasa dinamis dan mampu menjawab tantangan zaman adalah dengan mengkaji contoh-contoh dalam kitab-kitab salaf, lalu menggali pola metodologisnya. Bukan justru mengabaikan kitab-kitab salaf dan ulama madzhab, lalu memilih langsung kembali ke Alquran dan hadis.

Sebab pemahaman kembali ke Alquran dan hadis memiliki sinonim dengan keberanian untuk memutus mata rantai keilmuan yang sangat kaya. Dan justru memilih untuk memulai kembali membangun pondasi pemikiran dari dasar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun