Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan tentang Kekhawatiran di Era Kemudahan Informasi

27 April 2020   04:55 Diperbarui: 27 April 2020   04:56 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya ingat salah satu dawuh ulama salaf. Dari kitab Hilyatul Aulia. Imam As-Sya'bi ra pernah ngendika, "Seandainya ada seorang laki-laki berangkat dari ujung Syam hingga ke ujung Yaman, dan hanya mendapat satu kalimat berisi ilmu yang bermanfaat bagi kehidupannya di sisa usianya, aku memandang bahwa perjalanan orang tersebut tidaklah sia-sia".

Banyak sekali kisah serupa. Dulu untuk mentashih satu hadis saja ada sahabat yang merelakan menempuh jarak yang demikian jauh. Perjalanan yang makan waktu berhari-hari.

Saya mencoba mengingat-ingat kisah lama ini. Dulu waktu era belum ada kitab sebanyak sekarang ini, ada seorang ulama salaf yang menulis sebuah kitab sebagai bantahan atas satu akidah menyimpang. Mengetahui hal tersebut, ulama lain yang lebih senior justru ndukani. 

Ulama yang menulis kitab tersebut dimarahi, karena justru dengan tulisan beliau ada orang awam yang semula gak tahu menahu akidah menyimpang tadi, akhirnya jadi tahu. Niat baik meluruskan juga ada imbal balik sebagai promosi akidah menyimpang mereka. Ada yang ingat kisahnya? Saya lupa persisnya.

Kalau i'tibar untuk zaman sekarang istilahnya mungkin hati-hati berkomentar tentang isu viral dan sensitif. Nanti malah masyarakat yang awalnya gak tahu menahu jadi tahu. Dan bisa memancing salah paham. Serba salah kadang memang. Makanya lebih aman kalau bukan tanggungjawabnya, lebih baik gak usah ikut berkomentar apapun.

Tanpa mengurangi rasa hormat sedikitpun. Aliran muktazilah dan semacamnya memang sudah gak jadi ancaman. Kitab mereka sudah gak ada. Tapi pemikiran akidah mereka masih ada. Dan justru kita temukan dalam kitab-kitab ulama ahlussunah sendiri. Walaupun sekedar dalam bentuk eksplisit ataupun emplisit sebagai radd, atau bantahan. Kita jadi tahu akidah muktazilah itu seperti apa justru karena membaca kitab ahlussunah. Hidup memang selalu penuh dua sisi. Sebab sepertinya gak ada sesuatu yang tanpa risiko sama sekali. Mau gak mau ya memang harus begitu rasanya. Kondisi menuntut demikian.

Sekarang begitu lain. Informasi begitu mudah. Baik sekali tentunya. Tapi disitulah saya pribadi kadang merasa khawatir. Segala sesuatu pasti ada dua sisinya.

Di era kecanggihan informasi seperti sekarang, orang bisa mendapatkan pengetahuan dengan mudahnya. Setiap orang bisa membaca apa saja yang mereka mau. Karena memang seolah tersedia dengan bebas. Dan kian gampang diakses.

Di era kemudahan informasi seperti sekarang ini, kebijakan dari pembaca diperlukan. Maksudnya, termasuk saya sendiri harus sadar diri. Meskipun bisa membaca semua dengan bebas, bukan berarti semuanya "boleh dibaca". Ibarat meskipun dilindungi undang-undang kebebasan berbicara, tapi saya sendiri harus sadar diri untuk tidak bicara dan menulis diluar kapasitas dan kemampuan.

Saya ingat dulu ketika masih di pondok. Nasihat guru saya yang ditulis dengan gamblang. Dipasang di tempat yang semua santri bisa melihatnya. Ditulis dengan tulisan yang besar dan bagus, hingga mereka yang penglihatan matanya minus sekalipun tetap bisa membacanya. Guru saya dawuhnya, "mboten pareng ngaos kitab ingkang dereng pangkat ipun."

Meskipun kami bisa mengaji kitab apapun. Bisa membeli kitab apapun asalkan punya uang. Bisa mengikuti pengajian siapapun karena terbuka. Tapi bukan berarti semua itu boleh diikuti. Harus sadar diri. Semua kembali kepada diri masing-masing. Sudah mampu atau belum. Kurang lebih itu yang saya pahami.

Saya ingat kisah ini. Kisah saat Gus Bahak melarang santri kalong ikut pengajian tertentu beliau. Disini

Beberapa diskusi memang dilakukan di forum yang amat terbatas. Dihadiri hanya sekian orang. Kita kan tahu gak semua nasihat pas untuk semua orang.

Nabi Muhammad Saw juga demikian setahu saya. Ketika memberikan nasihat kepada para sahabat beliau. Gak sama. Satu pertanyaan kadang jawabannya berbeda-beda. Misalnya ketika menjawab tentang amaliah apa yang paling utama. Dalam satu hadis beliau bersabda demikian. Dalam hadis yang lain lagi bersabda demikian.

Kepada para sahabat, nabi Muhammad Saw mengajarkan hal yang berbeda-beda. Kemarin juga ada keterangan bahwa nabi Muhammad Saw tidak pernah memberikan penafsiran atas ayat kauniyah. Karena bisa memancing kesalahpahaman.

Dawuh ulama salaf itu gak salah. Hanya saja ada orang yang kadang salah menafsirkan atau salah menempatkan. Wallahu a'lam.

***

Saat membaca postingan di media sosial kadang merasa resah. Dalam hati ada rasa takut bagaimana kalau tulisan ini dibaca orang yang gak semestinya membaca. Dibaca anak kecil misalnya. Demikian bebasnya orang bisa mengakses medsos. Orang bisa membaca buku dan kitab apa saja. Orang dibanjiri informasi.

Kalimat yang benarpun masih bisa salah paham. Apalagi jika kalimatnya salah. Takutnya melahirkan kekacauan dalam memahami situasi.

Pembahasan yang melangit dan tidak dibatasi ruang diskusi bisa-bisa menimbulkan kesalahpahaman. Akhirnya menciptakan kekacauan berpikir. Bayangkan saja akibat murahnya informasi, perdebatan akan hal tertentu sampai didengar yang tidak berhak mendengarkan.

Cukup bagi saya nasihat guru saya. "Santri mboten pareng ngaos kitab ingkang dereng pangkat ipun." Nasihat itu semoga bisa saya amalkan seiring era kemudahan informasi seperti sekarang. Mengurangi membaca apa yang bukan hak saya.

Sebab salah satu doa yang diajarkan nabi Muhammad Saw adalah mohon perlindungan dari mendapatkan ilmu yang tidak bermanfaat bagi diri manusia sendiri. Tidak bermanfaat itu maksudnya apa? Mal mas'ul bia'lama minas sa'il...

Wallahu a'lam.

22 April 2020 M.
Selamat pagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun