Mohon tunggu...
kamila abiyyahdiati
kamila abiyyahdiati Mohon Tunggu... mahasiswa ilmu komunikasi

hobi menulis apa yang ada di pikiran. 24107030121

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Cinta yang Tak Pernah Redup: Dimasak dengan Tekad, Disajikan dengan Harapan

14 Juni 2025   00:03 Diperbarui: 14 Juni 2025   00:03 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kedai Cinta di belakang lippo plaza/sumber:dokumentasi Pribadi

Dalam dunia usaha kuliner yang silih berganti muncul dan tumbang, Kedai Cinta adalah pengecualian. Dirintis sejak 22 Mei 2015, bisnis makanan kaki lima yang kini memiliki lima cabang aktif ini bukan sekadar soal jual beli makanan. Ia adalah cermin dari perjuangan hidup, keberanian mengambil risiko, dan keinginan kuat untuk memberi bukan hanya kepada pelanggan, tapi juga kepada keluarga dan tim di balik dapur.

Di balik nama Kedai Cinta, berdirilah sosok tangguh bernama Zaimmatul Umma, S.HI, seorang perempuan kelahiran Gresik yang kini berusia 35 tahun. Sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan berusia enam bulan, ia menjalani hidup yang dinamis. Tinggal berpindah-pindah antara Yogyakarta dan Jawa Timur mengikuti sang suami setiap dua minggu sekali, sembari tetap mengelola usahanya dari jarak jauh.

Zaimmatul memulai segalanya dengan ketertarikan pada dunia wirausaha sejak duduk di bangku kuliah. Berbekal latar belakang Sarjana Ekonomi dari Universitas Darussalam (UNIDA), ia pernah menjalankan jasa edit baju yang sempat menghasilkan omzet hingga 100 juta rupiah. Namun, bisnis tersebut tak berumur panjang karena terkendala kasbon dan piutang macet.

Titik balik terjadi di tahun 2015, saat ia memutuskan membuka Kedai Cinta menggunakan gerobak sederhana di dekat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia menyewa lahan kecil di sekitar SD Muhammadiyah Sapen, di Jalan Bimo Kurdo. Menunya sederhana: gorengan, sempol, dan makanan ringan lainnya. Tapi dari sana, namanya mulai dikenal.

Tahun 2017, Kedai Cinta mencapai masa kejayaannya. Cabang bertambah pesat hingga sempat mencapai 11 titik, tersebar dari Jogja, Solo, Ngawi, hingga Gresik dan Surabaya. Di masa puncak itu, satu kedai bisa mempekerjakan tiga orang: satu untuk dapur, satu untuk kasir, dan satu khusus menangani pesanan online.

Namun, seperti yang diyakini Zaimmatul, "Pohon semakin tinggi, angin semakin kencang." Setelah masa panen, datanglah badai.

Krisis internal dan ketidakstabilan keuangan mulai menggerus operasional. Lalu datang pandemi COVID-19 pada 2020, memperparah keadaan. Cabang demi cabang mulai tutup. Dari 11, hanya enam yang bertahan.

Meski begitu, Kedai Cinta tak pernah benar-benar sepi. Justru ketika banyak penjual memilih berhenti, kedainya tetap buka dan jadi alternatif pelanggan yang kehilangan pilihan. Dengan strategi harga terjangkau tapi rasa tidak dikompromikan, pelanggan tetap setia.

Menu seperti corndog besar berisi keju mozzarella seharga Rp13.000, sempol beli lima gratis satu, hingga cireng isi ayam padat rasa, menjadi andalan. Strategi ala pedagang Tionghoa murah, enak, dan cepat---diadaptasi penuh kesadaran. "Mahasiswa itu kan kadang cuma punya uang Rp10.000-an, saya juga pernah jadi mahasiswa," ujar Zaimmatul.

Tak hanya beradaptasi dengan tren makanan seperti topokki saat demam drama Korea atau bakso mercon saat Ramadan, ia juga mendengar saran pelanggan untuk pengembangan menu. Zaimmatul tahu betul, selera konsumen itu hidup, dan usaha yang stagnan akan pelan-pelan mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun