Mohon tunggu...
Kalyca IndiraTheta
Kalyca IndiraTheta Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada

"Happiness is only real when shared". Just a curious mind exploring how economic and society intertwine— one story at a time.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Baju Bekas Bercerita: Thrifting dalam Kacamata Sosiologi Ekonomi

16 Oktober 2025   20:48 Diperbarui: 16 Oktober 2025   21:48 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Dua Orang Melakukan Praktik Thrifting. (Sumber: Adobe Stock)

"Cekrek!" kamera ponsel berbunyi di antara tumpukan baju bekas di Pasar Senthir, Yogyakarta. 

Seorang mahasiswa tersenyum puas setelah menemukan jaket vintage bermerek yang masih kinclong meski sudah berpindah tangan entah keberapa kali. Di tangannya, selembar kain lusuh kembali punya makna baru dan di situlah cerita thrifting dimulai.

Di tengah derasnya arus fast fashion, thrifting menetap sebagai oasis kecil yang menenangkan. Di pasar loak, akun live TikTok, hingga laman Instagram, baju-baju bekas yang dulu dianggap lusuh kini kembali naik panggung. Dari kemeja lawas sampai cardigan lucu menjadi incaran generasi muda yang mencari gaya, nilai, sekaligus makna. 

Berdasarkan Liputan6 (2024), Thrifting sendiri mulai berkembang di Bandung pada era 1990–2000-an, sebelum akhirnya menjalar ke berbagai kota besar di Indonesia. Sekarang, survei Goodstats (2022) menunjukkan bahwa 49,4% masyarakat Indonesia pernah mencoba thrifting. Angka ini menandakan bahwa praktik yang dulu dipandang "alternatif" kini telah menjadi bagian dari arus gaya hidup. Namun, sebenarnya thrifting lebih dari sekadar praktik sederhana, ia adalah cerminan dari hubungan ekonomi dan sosial yang mengikat satu sama lain.

Sosiolog Mark Granovetter (1985) menyebut fenomena semacam ini sebagai embeddedness, yang berarti kegiatan ekonomi tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu melekat dalam jaringan dan norma sosial yang ada. Thrifting bukan hanya soal harga murah, tetapi tentang cara orang membangun makna, solidaritas, dan bahkan identitas melalui konsumsi. Sebenarnya, apa yang membuat praktik ini terasa begitu hidup, seolah tiap potongan kain menyimpan kisah?

Tawaran Bagus, Harga Minus

Salah satu alasan terkuat mengapa thrifting terus langgeng tentu saja karena harganya yang murah. Dalam prinsip ekonomi, manusia selalu berpikir rasional, yakni mengambil keputusan dengan membandingkan biaya dan manfaat dari pilihan yang ada. Manusia yang rasional pasti akan memilih pilihan dengan manfaat terbesar dan biaya terkecil. Maka, thrifting yang menawarkan pakaian berkualitas dengan harga miring sangatlah mencerminkan prinsip tersebut. 

Namun, jika dipikir, mengapa tidak membeli baru saja? Jawabannya adalah karena ada manfaat yang hanya dapat diperoleh dari thrifting. Bagi banyak generasi muda, thrifting adalah cara untuk tetap bisa tampil stylish tanpa harus takut dompet kering. Artinya, thrifting membuka kesempatan yang lebih luas bagi kita untuk dapat mengeksplorasi gaya pribadi dan menyalurkan kreativitas tanpa khawatir. Dengan opsi yang banyak dan unik, thrifting menjadikan setiap pilihan sebagai ruang untuk mengekspresikan identitas secara lebih personal dan berbeda dari orang lain.

Tak hanya itu, saat memilih pakaian, kita tentu terhubung dengan tren, norma komunitas, dan inspirasi dari teman sebaya maupun media sosial. Misalnya, tren upcycling atau mendaur ulang pakaian yang sedang ramai juga meningkatkan minat thrifting generasi muda. Aktivitas ini memungkinkan kita untuk berbagi ide, mendapatkan pengakuan, dan merasakan keterikatan dengan orang-orang yang memiliki minat serupa. Jadi, selain menjadi sarana mengekspresikan identitas, thrifting juga membangun jaringan sosial dan partisipasi dalam komunitas.

Kesadaran Sosial yang Menghidupkan Thrifting

Lebih dari alasan pribadi, embeddedness semakin jelas terlihat jika kita menelaah dari kesadaran dan kepedulian sosial kolektif yang turut mendorong minat thrifting. Industri fashion, khususnya fast fashion, dikenal sebagai salah satu penyumbang limbah tekstil terbesar di dunia. Dilansir dari ASEAN Treasury Forum (2024), laporan Ellen MacArthur Foundation (2017) mencatat ada sekitar 92 juta ton limbah tekstil yang dibuang setiap tahun di seluruh dunia dan sebagian besarnya berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar sehingga menimbulkan pencemaran. 

Di Indonesia, dampak industri fashion juga sangat terasa. Dari laman yang sama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (2023) menyebutkan bahwa sampah tekstil menyumbang 2,87% dari total komposisi sampah nasional Indonesia atau setara 1,75 ton. Kondisi ini menegaskan pentingnya memilih alternatif yang lebih berkelanjutan, salah satunya melalui thrifting, dan generasi muda sudah mempraktikkannya secara nyata.

Survei Nasional PPIM (2024) menunjukkan bahwa 78,5% generasi Z lebih melek isu lingkungan dibandingkan generasi lain. Dikutip dari The Conversation (2025), Rafi (24 tahun) mengungkapkan, "Saya mulai thrifting karena lebih murah, tetapi lama-lama saya sadar bahwa ini juga cara untuk mengurangi limbah pakaian." Dengan membeli pakaian bekas pakai, generasi muda tidak hanya membuat keputusan ekonomi berbasis rasional, tetapi juga karena konteks sosial dan moral yang menghubungkan gaya hidup, identitas, dan kepedulian terhadap lingkungan.

Risiko Tak Terduga dari Tren Thrifting

Meskipun menawarkan berbagai keuntungan, popularitas thrifting juga menimbulkan risiko tak terduga yang dapat menggeser makna dari thrift itu sendiri. Salah satu yang mengkhawatirkan adalah overconsumption atau konsumsi berlebih, karena harga yang murah mendorong beberapa orang membeli lebih banyak daripada yang sebenarnya dibutuhkan. Risiko ini semakin menunjukkan bahwa perilaku ekonomi individu sangat dipengaruhi oleh norma sosial dan tren sehingga keputusan yang tampak rasional bisa berujung pada pemborosan.

Ilustrasi Pemborosan Pakaian. (Sumber: Pixabay/TheDigitalArtist) 
Ilustrasi Pemborosan Pakaian. (Sumber: Pixabay/TheDigitalArtist) 

Nilai sosial dari thrifting juga berisiko terkikis. Beberapa pihak sengaja membeli pakaian bekas bermerek atau berkualitas tinggi untuk dijual kembali dengan harga yang hampir setara pakaian baru. Perilaku ini memanfaatkan kepercayaan sosial bahwa membeli pakaian thrift dengan harga lebih mahal bukanlah masalah karena adanya narasi bahwa barang tersebut "langka". Padahal, biasanya juga hasil seleksi dari tumpukan pakaian bekas biasa. Akibatnya, pengalaman dan nilai komunitas yang sebelumnya bersifat ekonomis dan kreatif mulai berubah. 

Selain itu, thrifting yang awalnya menjadi bentuk perlawanan terhadap industri fast fashion, justru bisa menjadi bumerang. Lonjakan impor pakaian bekas ke Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar justru berakhir menjadi limbah. Berdasarkan BBC News Indonesia (2022), data BPS menampilkan puncak impor tersebut pada 2019 mencapai 392 ton. VOA News (2024) juga mencatat pada 2023, pemerintah memusnahkan 1,3 juta pakaian bekas impor yang disita. Relasi kepercayaan dan koneksi informal memungkinkan aliran pakaian bekas ilegal terus berjalan, artinya aktivitas ekonomi di balik thrifting masih melekat kuat pada hubungan sosial yang menopangnya.

Pembelajaran dari Thrifting untuk Generasi Muda

Secara keseluruhan, praktik thrifting mengingatkan kita bahwa setiap keputusan ekonomi tidak pernah berdiri sendiri dan selalu terkait dengan norma dan jaringan sosial yang ada. Embeddedness dalam konteks thrifting tidak hanya menunjukkan sisi positif dari keterikatan sosial dan ekonomi, tetapi juga bagaimana jaringan sosial bisa memunculkan konsekuensi yang mereduksi nilai asli praktik tersebut.

Sebagai generasi muda, kita boleh menikmati thrifting sebagai cara mengekspresikan gaya dan kreativitas dengan tetap sadar akan dampak sosial dan lingkungan dari setiap pilihan. Dengan memahami keterkaitan ini kita dapat mengikuti tren sekaligus menjaga nilai komunitas, keberlanjutan, dan keseimbangan antara gaya hidup dan tanggung jawab sosial. Karena di balik setiap potongan tersimpan cerita, maka pastikan cerita itu bukan soal kehilangan makna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun