Lebih dari alasan pribadi, embeddedness semakin jelas terlihat jika kita menelaah dari kesadaran dan kepedulian sosial kolektif yang turut mendorong minat thrifting. Industri fashion, khususnya fast fashion, dikenal sebagai salah satu penyumbang limbah tekstil terbesar di dunia. Dilansir dari ASEAN Treasury Forum (2024), laporan Ellen MacArthur Foundation (2017) mencatat ada sekitar 92 juta ton limbah tekstil yang dibuang setiap tahun di seluruh dunia dan sebagian besarnya berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar sehingga menimbulkan pencemaran.Â
Di Indonesia, dampak industri fashion juga sangat terasa. Dari laman yang sama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (2023) menyebutkan bahwa sampah tekstil menyumbang 2,87% dari total komposisi sampah nasional Indonesia atau setara 1,75 ton. Kondisi ini menegaskan pentingnya memilih alternatif yang lebih berkelanjutan, salah satunya melalui thrifting, dan generasi muda sudah mempraktikkannya secara nyata.
Survei Nasional PPIM (2024) menunjukkan bahwa 78,5% generasi Z lebih melek isu lingkungan dibandingkan generasi lain. Dikutip dari The Conversation (2025), Rafi (24 tahun) mengungkapkan, "Saya mulai thrifting karena lebih murah, tetapi lama-lama saya sadar bahwa ini juga cara untuk mengurangi limbah pakaian." Dengan membeli pakaian bekas pakai, generasi muda tidak hanya membuat keputusan ekonomi berbasis rasional, tetapi juga karena konteks sosial dan moral yang menghubungkan gaya hidup, identitas, dan kepedulian terhadap lingkungan.
Risiko Tak Terduga dari Tren Thrifting
Meskipun menawarkan berbagai keuntungan, popularitas thrifting juga menimbulkan risiko tak terduga yang dapat menggeser makna dari thrift itu sendiri. Salah satu yang mengkhawatirkan adalah overconsumption atau konsumsi berlebih, karena harga yang murah mendorong beberapa orang membeli lebih banyak daripada yang sebenarnya dibutuhkan. Risiko ini semakin menunjukkan bahwa perilaku ekonomi individu sangat dipengaruhi oleh norma sosial dan tren sehingga keputusan yang tampak rasional bisa berujung pada pemborosan.
Nilai sosial dari thrifting juga berisiko terkikis. Beberapa pihak sengaja membeli pakaian bekas bermerek atau berkualitas tinggi untuk dijual kembali dengan harga yang hampir setara pakaian baru. Perilaku ini memanfaatkan kepercayaan sosial bahwa membeli pakaian thrift dengan harga lebih mahal bukanlah masalah karena adanya narasi bahwa barang tersebut "langka". Padahal, biasanya juga hasil seleksi dari tumpukan pakaian bekas biasa. Akibatnya, pengalaman dan nilai komunitas yang sebelumnya bersifat ekonomis dan kreatif mulai berubah.Â
Selain itu, thrifting yang awalnya menjadi bentuk perlawanan terhadap industri fast fashion, justru bisa menjadi bumerang. Lonjakan impor pakaian bekas ke Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar justru berakhir menjadi limbah. Berdasarkan BBC News Indonesia (2022), data BPS menampilkan puncak impor tersebut pada 2019 mencapai 392 ton. VOA News (2024) juga mencatat pada 2023, pemerintah memusnahkan 1,3 juta pakaian bekas impor yang disita. Relasi kepercayaan dan koneksi informal memungkinkan aliran pakaian bekas ilegal terus berjalan, artinya aktivitas ekonomi di balik thrifting masih melekat kuat pada hubungan sosial yang menopangnya.
Pembelajaran dari Thrifting untuk Generasi Muda
Secara keseluruhan, praktik thrifting mengingatkan kita bahwa setiap keputusan ekonomi tidak pernah berdiri sendiri dan selalu terkait dengan norma dan jaringan sosial yang ada. Embeddedness dalam konteks thrifting tidak hanya menunjukkan sisi positif dari keterikatan sosial dan ekonomi, tetapi juga bagaimana jaringan sosial bisa memunculkan konsekuensi yang mereduksi nilai asli praktik tersebut.
Sebagai generasi muda, kita boleh menikmati thrifting sebagai cara mengekspresikan gaya dan kreativitas dengan tetap sadar akan dampak sosial dan lingkungan dari setiap pilihan. Dengan memahami keterkaitan ini kita dapat mengikuti tren sekaligus menjaga nilai komunitas, keberlanjutan, dan keseimbangan antara gaya hidup dan tanggung jawab sosial. Karena di balik setiap potongan tersimpan cerita, maka pastikan cerita itu bukan soal kehilangan makna.