Kalau dijabarkan lebih jauh lagi, bahwa nilai-nilai kebajikan yang diajarkan Islam meliputi pedoman  berperilaku, baik secara personal maupun sosial.  Islam mengajarkan bagaimana adab (tata karma) prilaku manusia, sejak bangun tidur di pagi hari hingga tidur kembali di malam hari. Â
Demikian juga dalam hubungan sosial. Â Islam memberikan panduan dalam konteks hubungan dalam keluarga, dengan tetangga dan dengan masyarakat luas. Â Islam mengatur hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, dan sebaliknya. Kemudian juga mengajarkan tentang etika, warisan, pernikahan, dan sebagainya. Dalam hubungan sosial dengan tetangga dan masyarakat luas, Islam mengajarkan masalah toleransi, hak asasi, jual beli, hutang piutang, hingga sanksi pidana. Kesemuanya aturan itu ada dalam Islam, dan (barangkali) tidak ada dalam agama selain Islam.
Namun, jangan berharap Islam mengatur kesemuanya itu secara lengkap dan rinci. Islam hanya memberikan panduan aturan secara garis besar berupa nilai-nilai, bukan teknis. Â Kalau Nabi Muhammad dituntut untuk mengajarkan risalah Islam secara lengkap dan rinci hingga teknis pelaksanaan sekecil-kecilnya, maka durasi waktu 11 tahun (efektif sejak hijrah hingga wafat) tidaklah cukup. Â Dan kalau ditulis dalam sebuah risalah maka bisa jadi tebalnya mencapai berjuta halaman.
Bid'ah Para Sahabat Nabi
Sepeninggal Nabi, para sahabat banyak yang mempraktikkan bid'ah. Seperti praktik shalat tarawih berjamaah, pembukuan al-Qur'an, Adzan shalat jum'at 2 kali, shalat sunah usai wudlu, do'a al-fatihah untuk mengobati penyakit, dan masih banyak lagi. Itu semua dilakukan oleh para sahabat semata untuk tujuan yang baik, dan tentu tidak menyimpang dari garis yang pernah dilakukan oleh Nabi. Yang demikian itu oleh para ulama disebut sebagai bid'ah hasanah.
Praktik-praktik bid'ah juga banyak dilakukan oleh umat saat ini, seperti: zakat fitrah dengan beras, zakat profesi, qurban dikirim ke pelosok desa, shalat jama' qashar dalam perjalanan pesawat terbang, dzikir berjamaah, halal bi halal, peringatan maulid, dan sebagainya. Â Praktik-praktik ibadah itu semua tidak ditemukan dalam hadis Nabi, dan tentu tergolong bid'ah.Â
Sebagian amalan, zakat misalnya, Â apabila harus mengikuti yang dicontohkan persis oleh Nabi (berupa gandum, kurma, anggur kering, atau keju) dan tidak boleh dalam bentuk uang, tentu akan timbul permasalahan. Oleh karenanya para ulama ber-ijtihad memperbolehkan zakat dalam bentuk uang, karena pertimbangan faktor kemudahan dalam penerimaan dan penyaluran, serta nilai kemanfaatannya. Asalkan tidak menyimpang secara hakekat. Itulah bid'ah hasanah.
Para ulama besar seperti Imam empat madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad ibnu Hambal), serta ulama besar lainnya adalah para ulama yang memiliki kedalaman ilmu agama, amal dan akhlak yang tinggi. Â Mereka hafal al-Qur'an dan mempunyai pengetahuan yang sangat dalam tentang sunah rasul. Â Dalam ber-ijtihad untuk menetapkan sebuah hukum, mereka sangat bersungguhsungguh. Tetapi hasilnya ada perbedaan diantara mereka. Â Dan tentu diantara ketetapan hukumnya ada unsur bid'ah. Â Apakah mereka sesat?
Perbedaan pendapat adalah rahmat
Sesungguhnya, perbedaan pendapat yang timbul di antara kaum muslim adalah hal wajar dan merupakan sunatullah. Â Timbulnya Iktilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama dalam memahami AQ dan hadist disebabkan oleh : (1) Ayat AQ dapat mengandung banyak makna. (2) Hadis beredar dari mulut ke mulut selama hampir dua ratus tahun di antara perawi hadis, sehingga dalam penulisannya memungkinkan terjadinya ketidaksempurnaan. (3) Kecerdasan, pengalaman dan sosio-kultural para ulama yang berbeda, menyebabkan berbeda dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an dan hadis, serta berbeda dalam menyusun metode Ijtihad.
Namun demikian, dibalik perbedaan pendapat diantara para ulama justru mengandung hikmah. Karena dari perbedaan tersebut kaum muslim diberikan kesempatan untuk berpikir menggunakan akalnya sehingga memperoleh kebenaran. Â Rasulullah bersabda, "Perbedaan pendapat para sahabatku adalah rahmat bagi kalian." (HR. Al Baihaqi). Meski hadis ini dinyatakan dhaif (lemah) oleh para ulama, namun Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, pendiri Madzhab Hambali, berpendapat bahwahadis dha'if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdal (baik)Â bukan untuk menentukan hukum.