Mohon tunggu...
Maria Nofaola
Maria Nofaola Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Sapaannya Kak Ola, seorang Psikolog Klinis, guru yoga, pelaku bisnis, dan pecinta seni yang suka menuturkan segala hal yang disukainya ke dalam tulisan. Tulisan-tulisannya dapat dibaca di blog http://www.MariaNofaola.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan featured

"Gimana Menyikapi LGBT, La?"

28 Februari 2016   23:59 Diperbarui: 3 Februari 2019   14:31 15380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Bendera pelangi yang menjadi simbol para LGBT. Simbol itu dibuat oleh seniman asal San Fransisco, Gilbert Baker, pada tahun 1978 | Wikipedia.org

LGBT itu apaan, La?”
“LGBT itu gangguan jiwa ya, La?”
“Kamu mendukung atau menolak LGBT, La?”
“Gimana caranya supaya anak-anak kita nggak ketularan LGBT, ya, La?” 

Kira-kira seperti itulah pertanyaan teman-teman saat bertemu saya, baik bertemu di dunia maya ataupun secara nyata dalam berbagai kesempatan.

Wajar jika muncul rasa cemas di masyarakat, terutama kalangan orang tua. Berita tentang LGBT kencang sekali, khususnya di media sosial. Dari persoalan propaganda, pengerusakan moral, penularan perilaku, penularan penyakit kelamin, dan lain sebagainya.

Kita harus menyikapi LGBT ini secara bijaksana; berpikir matang-matang sebelum berucap. Mau mengatakan "tidak setuju" atau "menerima", kita harus pikirkan dulu apa akibatnya; apa saja yang tidak kita setujui, hanya aspek tertentu saja atau seluruhnya, dan hal apa yang diterima.

Menyatakan mendukung atau menolak mentah-mentah tidak akan menyelesaikan masalah. Jika salah melangkah, bisa-bisa menimbulkan masalah baru bagai gunung es; terlihat sedikit, masalah yang tersembunyi justru lebih besar.

Kehatian-hatian dalam bersikap harus diutamakan oleh para profesional yang menangani individu dengan LGBT, misalnya psikolog klinis dan psikiater. Apa yang dikatakan/diucapkan oleh seorang spesialis pada umumnya akan menjadi acuan bertindak orang-orang yang ada di sekitar mereka.


Karena, merekalah yang dianggap memahami persoalan ini. Ketika para profesional bilang "tolak LGBT" belum tentu persepsinya sama dengan masyarakat.

Mungkin saja ada masyarakat yang menolak membabi buta; individu dengan LGBT tidak boleh berada di wilayah tempat tinggal mereka, tidak boleh mengikuti ibadah di rumah ibadah, atau melakukan tindak anarki terhadap individu dengan LGBT.

Bagaimana menyikapi LGBT?
Sebelum menentukan sikap pro atau kontra, hendaknya kenali dulu apa yang dimaksud LGBT, apa yang sesungguhnya terjadi pada individu dengan LGBT, dsb.

LGBT singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. LGBT merupakan istilah umum yang dipopulerkan oleh masyarakat dan media masa. Lesbian adalah sebutan bagi seorang perempuan yang menyukai perempuan. Gay adalah sebutan bagi laki-laki yang menyukai laki-laki.

Biseksual ialah seseorang yang menyukai atau mencintai laki-laki maupun perempuan. Sedangkan, transgender merupakan seseorang yang memiliki hasrat besar berperilaku dan memilih hidup dengan cara yang berbeda dari jenis kelaminnya. Misalnya, seorang laki-laki berhasrat ingin berperilaku dan hidup seperti seorang perempuan.

Begitu pula sebaliknya, perempuan berhasrat untuk berperilaku dan hidup seperti layaknya seorang laki-laki. Transgender senang menjalankan peran lawan jenisnya. Dan, biasanya berkeinginan melakukan operasi kelamin; penis menjadi vagina, vagina menjadi penis.

Dalam dunia psikiatri, lesbian dan gay disebut homoseksual. Orang-orang dengan homoseksual dan biseksual disebut Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Definisi ODMK ini ada di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.

Menurut Undang-Undang tersebut Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa.

Dan, pada pasal 68 disebutkan bahwa ODMK memiliki beberapa hak, yaitu:
a. mendapatkan informasi yang tepat mengenai Kesehatan Jiwa;
b. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau;
c. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar pelayanan Kesehatan Jiwa;
d. mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan jiwanya termasuk tindakan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa;
e. mendapatkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan jiwa; dan
f. menggunakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwa. 

Undang-undang di atas menunjukkan kepada kita bahwa kita perlu menyikapi suatu permasalah dengan melihat berbagai sisi. Menolak lesbian, gay, dan biseksual dalam berbagai aspek tentu tidak benar. Dari sisi kesehatan, kita perlu memberikan layanan kesehatan mental bagi mereka.

Dengan menjadi pendengar yang baik, kita bisa memberi informasi yang benar kepada mereka. Bahkan, kita bisa membimbing mereka untuk bersikap positif sesuai norma agama dan norma sosial yang berlaku.

Kita perlu pula mengingatkan bahwa mereka pun punya kewajiban. Kewajiban mereka tertuang dalam pasal 69, yaitu ODMK berkewajiban memelihara kesehatan jiwanya dengan cara menjaga perilaku, kebiasaan, gaya hidup yang sehat, dan meningkatkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial.

Lalu, bagaimana dengan transgender? Istilah transgender tidak digunakan dalam ilmu psikiatri. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (panduan penegakan diagnosis dalam psikiatri), ada istilah Gender Identity Disorder (Gangguan Identitas Gender). Dan dalam PPDGJ III ada dikenal istilah transeksualisme. Berdasar gejala-gejala dan definisi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, transeksualisme dapat digolongkan dalam Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

ODGJ berbeda dengan OMDK. Menurut Undang-undang,ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Dalam hal kesehatan jiwa, hak mereka pun diatur dalam Undang-undang, yaitu:
a. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau;
b. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar pelayanan Kesehatan Jiwa;
c. mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat psikofarmaka sesuai dengan kebutuhannya;
d. memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya;
e. mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan jiwanya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa;
f. mendapatkan pelindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan, eksploitasi, serta diskriminasi;
g. mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan tingkat gangguan jiwa; dan
h. mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau yang diserahkan kepadanya.

Dari sisi kesehatan mental, tampak bahwa individu dengan masalah LGBT berhak dilindungi dan memiliki kehidupan yang layak, sama seperti kita.

Kita tidak bisa bertindak semena-mena. Tindakan kita pun diatur oleh Undang-undang. Pasal 86 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap ODMK dan ODGJ atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi ODMK dan ODGJ, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dan, pada pasal 85, dipaparkan bahwa semestinya peran kita selaku masyarakat sebaiknya:
a. memberikan bantuan tenaga, dana, fasilitas, serta sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa;
b. melaporkan adanya ODGJ yang membutuhkan pertolongan;
c. melaporkan tindakan kekerasan yang dialami serta yang dilakukan ODGJ;
d. menciptakan iklim yang kondusif bagi ODGJ;
e. memberikan pelatihan keterampilan khusus kepada ODGJ;
f. memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya peran keluarga dalam penyembuhan ODGJ; dan
g. mengawasi fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa.

Nah, sudah semakin paham dengan LGBT (homoseksual, biseksual, transseksual)?
Sudah mulai dapat gambaran bagaimana menyikapi individu dengan LGBT?
Jika masih bingung bagaimana menyikapinya, tidak apa-apa. Itu tandanya kamu sedang berpikir secara rasional. Itu baik untuk kamu. 

Lalu, bagaimana menyikapi LGBT?
Mari kita sama-sama berpikir dengan kepala dingin. Bayangkan jika anak kita mengakui bahwa dia lesbian atau gay, atau biseksual, atau ingin berganti kelamin. Apa yang akan kita katakan jika teman dekat kita mengatakan, "I am gay. What should I do?". Apa yang akan kita lakukan jika adik atau kakak kita bilang, "Gue lesbian. Gue lebih bahagia hidup begini". 

Pendekatan persuasif
Tentu kita ingin orang-orang yang kita cintai itu kembali ke jalan yang benar (menurut kita, sesuai norma agama dan norma sosial), bukan? Apakah cara frontal; mengusirnya, memaki, marah-marah, bahkan menyambuknya dengan ikat pinggang, akan membuatnya berubah? Cara kasar belum tentu bisa mengubah sikap seseorang.

Sentuh aspek afektif, kognitif, dan konatifnya
Dalam psikologi (ilmu perilaku), salah satu cara mengubah sikap seseorang ialah dengan menyentuh aspek afektif, kognitif, dan konatif seseorang. Aspek afektif itu ialah sisi perasaan seseorang.

Artinya, dengan kesabaran, kasih sayang, cinta, dan penerimaan, kita justru bisa membuat seseorang berubah. Kita menerima kenyataan bahwa dirinya berbeda. Kita mencintainya meskipun jalan hidupnya keliru. Kita sabar dalam membantunya mengubah pikirannya. Selain aspek afektifnya, kita pun perlu memperbaiki aspek kognitifnya.

Aspek kognitif ini adalah isi pikirannya atau cara berpikirnya. Kita boleh menjelaskan dan menyampaikan informasi terkait ajaran agama, norma-norma, nilai-nilai kehidupan, pandangan positif, dsb.

Kemudian, kita mulai mengarah ke aspek konatifnya, yaitu membuatnya bertindak menjauhi lingkungannya semula, mengubah dandanan, atau mengubah tampilan fisiknya. Semua ini dilakukan dengan teknik persuasif tentunya. Cara yang halus dan lembut, perlahan tapi pasti.

Kalau nggak mau berubah, gimana?
Di titik inilah kadang kita berjumpa dengan konsep hak asasi manusia. Kita ingin seseorang itu bersikap dan berperilaku baik seperti konsep yang ada di pikiran kita.

Namun, hal itu membuat mereka tersiksa, tidak nyaman, sakit, dan menderita. Jika mereka adalah anak, adik, kakak, atau sahabat dekat kita, apakah kita tetap akan berjuang mati-matian agar mereka berubah? Atau, melepaskan mereka untuk hidup bahagia dengan caranya yang tidak normatif? Nah, akhirnya kita semua sampai di titik ini.

Perjelas detil apa yang kita khawatirkan
"Saya tahu kamu happy dengan pilihan ini tapi saya khawatir dengan kesehatan kamu. Kamu masih remaja, tapi kamu sudah melakukan hubungan seksual dengan puluhan pacar kamu. Saya khawatir kamu dapat HIV. Kamu sekarang juga mencemaskan hal ini, kan?" kata saya jujur pada seorang klien remaja pria yang berkata, "You don't know how happy I am, Bu"

Keputusan menyikapi kondisi personal mereka ada di tangan kita masing-masing. Akan ada yang menerima, menolak, atau tetap bingung-bingung. Apapun sikap kita nantinya, tentu ada hal-hal spesifik yang kita sepakati bersama. Baik itu yang dibolehkan atau pun tidak. Misalnya, mencegah "penularan" perilaku menyimpang yang bisa mengakibatkan penyebaran penyakit menular seperti HIV/AIDS dan penyakit kelamin.

***
Silakan menilai, menanggapi, atau membagi tulisan ini jika bermanfaat, inspiratif, serta menarik. Dan, dengan senang hati pula menerima komentar membangun dari kompasioner dan pembaca semua. Mari berbagi dan saling membangun dengan tutur tertulis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun