Mohon tunggu...
kakak irbah
kakak irbah Mohon Tunggu... content writer

Hai, sifat introvert membawaku senang dengan dunia menulis. Semoga karyaku bisa bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rakyat KencangkanPinggang Demi Efisiensi, Pejabat Justru Tebalkan Dompet

13 Juli 2025   12:05 Diperbarui: 13 Juli 2025   12:05 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels.com/pixabay korupsi di tengah efisiensi

Ironis. Sungguh ironis. Ketika negara menggaungkan efisiensi anggaran dengan narasi sakral demi "menyelamatkan" keuangan negara, justru pada saat yang sama, praktik korupsi tumbuh subur seperti gulma yang disiram pupuk mahal.

Apa buktinya? Tahun ini, pemerintah mengklaim berhasil menghemat hingga Rp 306 triliun melalui program efisiensi. Konon demi keberlanjutan fiskal, demi rakyat. Tapi coba kita buka mata lebih lebar: di tengah "hemat-hemat" ini, muncul kasus korupsi Pertamina yang merugikan negara hingga Rp 968 triliun, belum termasuk skandal timah Rp 300 triliun, Chromebook Rp 9,9 triliun, dan puluhan kasus lainnya. Kalau dihitung total, kita sedang bicara soal uang rakyat yang raib hingga lebih dari satu kuadriliun rupiah.

Pertanyaannya sederhana: benarkah negara ini kekurangan uang?

Jawabannya: tidak. Uangnya ada, sangat banyak. Tapi uang itu tidak turun ke rakyat. Ia berputar dalam lingkaran elite: pejabat, pengusaha kroni, dan tangan-tangan licin yang tak pernah merasa cukup. Ini bukan lagi soal kebocoran anggaran. Ini tsunami.

Sementara itu, rakyat? Diminta berkorban. Penerima bantuan iuran JKN (PBI JKN) dinonaktifkan. Tunjangan guru dikurangi. Dana bansos disunat. Riset, militer, layanan publik---semuanya kena pangkas. Semua demi efisiensi. Tapi rakyat tidak tahu, bahwa saat mereka mengencangkan ikat pinggang, para pejabat sedang berpesta pora.

Inilah buah dari sistem yang tak menjadikan agama sebagai landasan mengelola negeri. Sistem sekuler kapitalistik neoliberal menempatkan materi sebagai standar kebahagiaan dan kekuasaan. Wajar jika jabatan dijadikan peluang untuk "balik modal", bukan amanah untuk melayani.

Lalu kita terjebak dalam ilusi demokrasi. Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Nyatanya? Hanya untuk yang punya modal. Kekuasaan dibeli lewat transaksi. Setelah itu, saat menjabat, balik modal dulu, baru kerja. Maka jangan heran jika korupsi bukan lagi pelanggaran, tapi strategi bertahan hidup para elite.

Korupsi di negeri ini telah menjelma jadi sistematis. Menggurita. Bukan hanya di pusat, tapi sampai ke desa-desa. Bukan hanya eksekutif, tapi juga legislatif dan yudikatif. Ketika kasus korupsi diusut, muncul kasus baru: suap ke penegak hukum, diskon hukuman, bahkan fasilitas mewah dalam sel tahanan.

Maka berharap demokrasi kapitalisme bisa memberantas korupsi adalah mimpi di siang bolong. Justru sistem inilah yang melanggengkan akar-akar korupsi.

Islam dan Solusi Tuntas atas Korupsi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun