Mohon tunggu...
Kaharuddin Anshar
Kaharuddin Anshar Mohon Tunggu... Nelayan - Anak kehidupan, tumbuh di lorong desa

bayangan; pencerahan purba dalam membentuk sajak-sajak kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menulis Ulang Gagasan Provinsi Luwu Raya

1 September 2016   22:13 Diperbarui: 2 September 2016   00:17 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: laromp.blogspot.com

Desentralisasi sebagai ciri khas perubahan besar-besaran sistem pemerintahan  pasca jatuhnya rezim otoritarianisme 32 Tahun orde baru, membawa arah perubahan terhadap pola pembanguan pemerintahan daerah. Reformasi, datang menyalakan harapan.  Salah satunya  daerah kabupaten/kota dimampukan untuk melakukan pembangunan dengan berbagai kewenangan yang dimilikinya. Nampak ada keinginan pemerintah pusat untuk memberikan ruang partispasi pembangunan secara bermartabat bagi pemerintahan daerah secara otonom.

Arah politik hukum, nampak  melihat daerah lebih paham dan lebih dekat dengan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Pasca reformasi muncullah Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang kemudian terlalu dianggap liberal dalam ruang otonomi daerah,  hingga di Undangkanlah  Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai jembatan desentralisasi yang tidak terlalu liberal. Kehadiran Undang-Undang tersebut menjadi asa tersendiri  bagi Pemerintahan daerah untuk mengelola daerahnya  dengan dukungan dari pemerintah pusat.

Desentralisasi mendatangkan aroma wangi demokrasi, teori kedaulatan rakyat yang di bentangkan oleh J.J Rousseau bergerak secara beradab mendekati rakyat. Tetapi 10 Tahun berlalu angin politik berhembus kearah lain, tarik menarik kepentingan dan lemahnya membaca problem evektifas hukum dalam ruang sosiologis, menyebabkan kewenagan pemerintah daerah kabuapten kota ditarik ke Provinsi. Perubahan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang No 23 Tahun 2014 menandai babak baru otonomi daerah. Desentralisasi nampak dilemahkan dan sentralisasi mengalami penguatan.

Konfigurasi politik, memang melahirkan tarik menarik kepentingan dalam menciptakan produk Undang-Undang, belum cukup setahun setelah Undang-Undang No 23 tahun 2014 di Undangkan, muncullah Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014  menjadi Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 9 Tahun 2015

Perubahan tersebut tentu menjauh dari cita konstitusi sosial, bahwa Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang”. Dalam pasal tersebut tegas bahwa hadirnya Undang-Undang adalah hasil terjemahan dari kedaulatan rakyat. Kedaulatan itu sendiri dipahami ketika masyrakat telah memilih kepada daerah secara langsung, maka secara otomatis melekatlah kewenagan itu untuk mengelola daerahnya secara otonom.

Nampaknya penarikan kewenagan tersebut, disebabkan karena dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2014 kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun pasca dikembalikannya pemilihan kepala daerah secara demokratis kepada rakyat secara langsung, dan dihapusnya tugas dan kewenang DPRD untuk memilih bupati/walikota, kewenangan-kewenangan dalam ruang kedaulatan rakyat justru tidak  seturut  dikembalikan pada pemerintah daerah kabupaten/kota. Problem pembacaan  demokrasi begitu sangat  prosedural. Demokrasi sebatas dipahami pemilihan langsung oleh rakyat , mendudukkan seorang menjadi kepala daerah dan melupakan bahwa demokrasi yang berciri desentralisasi harus menghadirkan kewenangan pada pemerintah daerah. Disitulah subtansi memilih secara langsung sebab ada kewenangan yang diharapkan mampu mendatangkan angin perubahan bagi masyarakat.


Permasalahannya, politik melakukan determinasi kuat terhadap hukum, karena itu pula kegiatan legislasi DPR kerap dianggap Satjipto Rahrdjo sebagai kegiatan berpolitik dari pada kegiatan berhukum. Meskipun Perubahan tersebut tak bisa dipungkiri memliki latar belakang sosiologis, bahwa keberadaan otonomi daerah dianggap memiliki pengaruh besar terhadap munculnya raja-raja kecil di seantereo  pemerintahan daerah di Indonesia.

Jika penarikan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota karena pembacaan  tersebut,sungguh sangat naif sebab beranak pinaknya raja-raja kecil yang melakukan korupsi di berbagai daerah disebabkan lemahnya penegakan hukum, dan pembangunan moralitas berpolitik serta penguatan paradigma  tujuan desentralisasi, sebagai upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.

Penegakan hukum yang efektiv serta penyadaran secara moral akan menciptakan budaya birokrasi yang patuh terhadap undang-undang. Artinya penarikan kewenagan tersebut sungguh jauh dari kerangka teori demokrasi. Dan justru menunjukkan bahwa penegakan hukum tak mampu menciptakan determinasi untuk menciptakan  budaya birokrasi pemerintahan yang beradab.

Selain hal tersebut Munculnya raja-raja kecil dan fenomena tidak efektifnya kewenangan pemerintah daerah dalam menjalankan semangat desentralisasi, disebabkan  karena kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah kabupaten/kota, kerap masuk dalam perebutan ruang sumber daya alam secara politis, dan bukan upaya memartabatkan rakyat sebagai tujuan munculnya sebuah kewenangan.  Kenyataannya kewenangan yang diamanahkan oleh Undang-Undang justru  dikuasai oleh investor atau segelintir orang. Padahal bentangan desentralisasi bukan semata melekatnya keweangan pada  pemerintah daerah kabupaten/kota. Tetapi adalah bagaimana kewenagnan tersebut hadir  menjembatanai dan mendistribusikan  kedaulatan rakayat dengan metode pembangunan partisipatif  sebagai basis legitimasi cara berdemokrasi yang memartabatkan kehadiran rakyat dalam pembangunan.

Penarikan hampir seluruh kewenangan pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah daerah kabupaten/kota ke  Provinsi membuat beragam pertanyaan benarkah kita masih mengadopsi semangat desentralisasi, ataukan sistem pemerintahan sedang bergerak kearah sistem pemerintahan yang sentralistik. Padahal Menurut Hogerwaff desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan publik yang lebih tinggi ke badan publik yang lebih rendah kedudukannya untuk secara mandiri berdasarkan kepentingan sendiri (daerah) untuk mengambil keputusan dibidang pengaturan dan dibidang pemerintahan.

Penarikan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam ke pemerintah Provinsi justru menabrak tujuan semangat otonomi daerah. Semangat desentralisasi sebagai upaya mencegah menumpuknya kewenangan dan konsentrasi kekuasaan yang sangat memungkinkan munculnya tirani pembangunan nampaknya di abaikan. Selain hal tersebut penarikan kewenangan yang di normakan dalam undang-undang No 23 Tahun 2014  secara sosiologis memutus upaya partisipatif masyarakat untuk secara demokratis telibat mengawal pembangunan di daerahnya.

Sebut saja kewenagan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pengurusan kehutanan, daerah kabupaten kota hanya diberikan kewenangan pelaksanaan pengelolaan Taman Hutan Rakyat (TAHURA), penarikan yang cukup signifikan juga terjadi pada kewenangan dalam urusan pertambangan minerba, jika sebelumnya dalam undang-undang sektoral pertambangan minerba daerah kabupaten/kota  memiliki 12 kewenangan namun dalam Undan-Undang No 23 tahun 2014, pemerintah kabupaten kota memiliki satu kewenangan hanya dalam urusan energi panas bumi yaitu dalam hal penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah dan kabupaten/kota, belum lagi pengelolaan lingkungan hidup dan kelautan juga mengalami hal yang sama.  

Jika semua kewenangan tersebut diharapkan  dapat mempercepat pembangunan daerah dan menghindari  munculnya tirani pembangunan, maka  arah haluan pemerintahan yang sentralistik tersebut, mestinya dijemput dalam keseragaman cara pandang elit pemerintahan di Luwu dengan kembali menggerakkan pembentukan Provinsi Luwu Raya, sebagai kehendak sejarah, serta kehendak pembangunan yang berkeadilan dan bermartabat. Sebab memang kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang ditarik ke provinsi tersebut hanya bisa diraih kembali dengan  membentuk Provinsi Luwu Raya.

Tetapi, komitmen Pembentukan Provinsi Luwu raya sangat mungkin akan terwujud jika keinsyafan berpolitik telah hadir, moralitas penghidmatan terhadap rakyat benar-benar telah tumbuh serta memunculkan kehendak memartabatkan rakyat. Disamping itu pembacaan tentang kenapa kewenangan harus dimiliki oleh daerah Luwu Raya harus dipahami secara subtansial, agar harapan pembentukan Provinsi Luwu Raya, bukan harapan penguasaan keweanangan oleh segelintir orang ataupun para investor dalam memperebutkan ruang kehidupan rakyat. Jika hal tersebut telah diyakini sebagai panggilan memartabatkan rakyat Daerah luwu raya, Maka bolehlah semua elit dan semua elemen gerakan bergerak dalam satu tujuan pembentukan Provinsi Luwu Raya.

Kaharuddin Anshar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun