Mohon tunggu...
Kafabihi Chamzawi
Kafabihi Chamzawi Mohon Tunggu... Freelancer - Adil Sejak dalam pikiran

seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan” ― Pramoedya Ananta Toer, This Earth of Mankind

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Telaah Kritis Neo-Liberalistik, Indonesia Negeri Omnibus Law dan Refleksi Tan Malaka

6 Oktober 2020   15:31 Diperbarui: 8 Oktober 2020   17:12 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ditulis Oleh : Kafabihi (Mahasiswa Ilmu Kelautan, UMRAH)

Sudah jelas untuk mengamankan perusahaan perlu adanya kaki tangan dari pemerintahan. Selain menjual janji saat pileg, anggota DPR juga bisa menjual kebijakan, sungguh cerdas. 

Era reformasi yang kita harapkan kedepan lebih baik ini malah menjadi ketidakjelasan. Kebangkitan ekonomi yang di besar-besarkan oleh pemerintah bergeser dari nilai-nilai ekonomi pancasila. Nilai-nilai tersebut bergeser ke arah kapitalistik dan neo-liberal yang sangat jauh dari prinsip keadilan sosial. 

Meskipun sistem ekonomi di Indonesia adalah kerakyatan, gotong royong (Pancasila), namun dalam prateknya mempunyai kecenderungan kearah sistem ekonomi kapitalis, yang meliberalisasikan seluruh sumber daya ekonomi yang ada. Pada orde reformasi ini, kepentingan pasar sangat dominan atas segala arah kebijakan dan ukuran keberhasilannya sehingga masyarakat senagai subyek dalam hal ini dikajidan objek ekonomi belaka.

Sepintas pandangan Tan Malaka atas hilangnya Hak Buruh.

Tan malaka dalam konsep ekonomi politiknya menolak keras praktek pemikiran dari barat, yang saat ini telah diadopsi oleh DPR RI. Dalam hal ini wacana praktis pasar bebas menjadi dominan dalam pengaturan sumber daya perekonomian yang ada, sebagai fenomena sosial, ekonomi, politik, dan globalisasi mempengaruhi sistem yang ada

Bagi Tan Malaka, buruh adalah kelas masyarakat yang memiliki kekuasaan tertinggi di negri ini. Dalam Manifesto Jakarta (1945a), Malaka membayangkan Indonesia kelak akan menjadi republik dengan kedaulatan sepenuhnya di tangan pekerja. 

Rakyat pekerja akan mengatur arah kebijakan negara, hak milik, sistem produksi, upah, serta kehidupan sosial di atas asas tolong-menolong dan kesetaraan. Kondisi saat ini yang benar-benar hilang adalah hilangnya nalar yang berlandaskan ke-ilmuan

Dalam bukunya berjudul Madilog (1946). Menurutnya, manusia Indonesia harus membebaskan diri dari 'logika mistika'. Dengan menggunakan nalar yang dimilikinya untuk memahami hukum alam, manusia dapat merumuskan sikap yang tepat tanpa harus mengandalkan roh dan Tuhan. Proses penalaran itu sendiri harus berangkat dari benda-benda (matters) untuk sampai pada ide dan bukan sebaliknya. 

Skema ini juga diadopsi Malaka untuk menilik permasalahan sosial. Hingga saat ini kondisi yang sangat jauh dari apa yang di cita-citakan oleh Tan Malaka itu sendiri. Semua kebijakan yang pro rakyat harusnya melengkapi semua sisi kemanusiaan, dan yanng terjadi DPR RI kehilangan nalar serta hatinya untuk menyelesaikan problematika sosial.

Nilai kapitalis lahir di UU Cipta kerja dengan cara Omnibus Law, ya bagaimana tidak segala permasalahan akan dipermudah dengan cara ini. Konsep kapitalis yang lahir pada malam tadi (5 Oktober 2020) memudahkan investor masuk dengan memiliki hak agraria (tanah). Bagaimana mungkin sebuah pabrik beroperasi tanpa berdiri di atas sebidang tanah? 

Artinya, tanpa ada tanah, kapitalisme tidak akan dapat bekerja. Selama era kolonial, untuk menjamin adanya kepastian, kapitalis menggunakan aparat kepolisian dan pemerintah desa demi memperoleh tanah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun