Di era antroposen ini, di mana jejak manusia begitu dominan, krisis lingkungan tidak lagi bisa dipisahkan dari krisis moral dan spiritual. Kasus pertambangan emas ilegal di Kabupaten Boalemo, Gorontalo, adalah salah satu potret buram dari realitas ini. Lebih dari sekadar aktivitas ilegal yang merusak alam, kasus ini adalah tragedi sistemik yang mengoyak jalinan harmoni sosial dan spiritual. Dengan menggunakan lensa filosofi Tri Hita Karana, artikel ini akan mengupas secara kritis bagaimana praktik korupsi dan kolusi dalam perizinan tambang telah merusak tiga pilar utama kehidupan karena mengubah tanah yang subur menjadi medan konflik, dan mengaburkan batas antara keadilan dan keserakahan.
Kasus pertambangan emas ilegal di Boalemo, Gorontalo ini bukan hal baru. Berbagai laporan menunjukkan bagaimana mafia tambang menggunakan alat berat seperti ekskavator untuk merusak lingkungan, bahkan di bantaran sungai. Kerusakan ini tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga meningkatkan risiko bencana longsor dan banjir bagi masyarakat sekitar. Yang membuat kasus ini semakin kompleks dan memprihatinkan adalah adanya dugaan keterlibatan oknum aparat dan pejabat dalam aktivitas ilegal ini. Para bos tambang ilegal bahkan berani menantang dan mengintimidasi penegak hukum di lapangan, hal ini menunjukkan adanya jaringan yang kuat dan terorganisir. Fenomena ini memperlihatkan bahwa akar masalah bukan hanya pada penambang kecil melainkan pada sistem yang korup dan lemahnya pengawasan dari pihak berwenang. Kasus yang tejadi  ini bukan sekadar pelanggaran hukum melainkan sebuah manifestasi dari rusaknya hubungan fundamental antara manusia, alam, dan nilai-nilai spiritual. Dengan menggunakan lensa filosofi kearifan lokal Bali, Tri Hita Karana, artikel ini akan mengupas tuntas mengapa kerusakan lingkungan di Gorontalo lebih dari sekadar isu ekologis melainkan ini adalah cerminan dari hancurnya tiga pilar kebahagiaan dan harmoni.
Ketika Tri Hita Karana Dikorbankan di Altar Korupsi
Filosofi Tri Hita Karana mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat diraih melalui keseimbangan antara tiga hubungan fundamental yaitu hubungan dengan Tuhan (Parhyangan), sesama manusia (Pawongan), dan alam (Palemahan). Namun, dalam pusaran tambang ilegal di Boalemo, ketiga pilar ini telah dirobek dan dikorbankan demi keuntungan material yang tak bermoral.
1. Parhyangan: Jauhnya dari Kebahagiaan Sejati Pilar terakhir
Pilar pertama yaitu Parhyangan adalah hubungan harmonis dengan Tuhan yang seharusnya menjadi landasan moral bagi dua pilar lainnya. Korupsi dan eksploitasi yang terjadi di Boalemo adalah cerminan dari kegagalan spiritual yang mendalam. Para pelaku dari oknum pejabat hingga pemodal, telah mengabaikan nilai-nilai luhur dan memilih untuk terjebak dalam keserakahan yang tak berkesudahan. Mereka telah melanggar janji spiritual untuk menjadi penjaga ciptaan dan malah memilih untuk menghancurkannya. Tri Hita Karana mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari keseimbangan dan kedamaian batin yaitu sebuah kebahagiaan yang mustahil diraih jika hati telah dikuasai oleh kerakusan.
Penting untuk dipahami bahwa pilar-pilar ini saling terhubung secara holistik. Ketika Palemahan dihancurkan, Pawongan terkoyak, dan Parhyangan pun kehilangan maknanya. Kasus Boalemo adalah bukti bahwa mengejar kekayaan material secara membabi buta hanya akan membawa kehancuran. Â Pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah apakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam tumpukan uang yang diperoleh dari kehancuran alam dan penderitaan sesama? Tri Hita Karana menawarkan jawaban yang jelas yaitu "tidak".Â
2. Pawongan: Pengkhianatan Terhadap Kontrak SosialÂ
Pilar Pawongan yang menopang harmoni sosial dan keadilan, telah runtuh di Boalemo. Kasus ini menunjukkan adanya dugaan "bekingan" dari oknum aparat dan pejabat yang menciptakan kesan bahwa hukum dan keadilan tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. Bukti nyata dari kehancuran ini adalah viralnya video di media sosial yang menunjukkan penambang menantang pihak berwajib, seolah-olah mereka memiliki imunitas tak terjamah. Peristiwa ini bukanlah sekadar adu mulut, melainkan simbol dari pengkhianatan terhadap kontrak sosial yaitu janji negara untuk melindungi rakyat dan menjamin keadilan.
Di Boalemo, konflik antara penegak hukum dan bos tambang ilegal menunjukkan betapa norma sosial dan etika telah terkikis habis dan digantikan oleh hukum rimba di mana siapa yang berkuasa dialah yang menang. Penambang kecil yang nekat karena alasan ekonomi adalah korban yang sering kali harus menanggung risiko keselamatan dan jeratan hukum. Sementara itu, para "mafia" tambang dan oknum korup yang bersembunyi di balik layar adalah pelaku utama yang memanen keuntungan di atas penderitaan sesama. Â Mereka selalu menjual janji palsu tentang kesejahteraan sambil menciptakan jurang ketidakadilan dan ketidakpercayaan yang mengikis fondasi komunitas. Tatanan sosial yang seharusnya didasarkan pada gotong royong dan saling percaya telah digantikan oleh ketakutan, kecurigaan, dan persaingan yang tidak sehat. Ini adalah tragedi di mana nilai-nilai Pawongan telah dikhianati oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungnya.
 3. Palemahan: Komersialisasi Tanah yang Tak Suci LagiÂ
Palemahan merupakan pilar yang mengajarkan hubungan harmonis manusia dengan alam ini telah diabaikan secara brutal. Di Boalemo, tanah bukan lagi dipandang sebagai ibu pertiwi atau entitas suci yang harus dipelihara, melainkan hanya sebagai komoditas yang nilainya diukur dari seberapa banyak emas yang bisa diekstrak. Praktik perizinan "siluman" dan operasi ekskavator yang mengoyak perut bumi dan merusak bantaran sungai adalah bukti nyata dari pengkhianatan ini. Hancurnya ekosistem bukan sekadar kerusakan fisik, melainkan pengkhianatan spiritual terhadap janji manusia sebagai penjaga alam. Pemandangan mesin-mesin raksasa yang merusak habitat alami dan mencemari air adalah representasi paling tragis dari ketidakpedulian ini, menunjukkan bahwa manusia telah melupakan peran mereka sebagai pelindung alam dan justru menjadi perusak yang rakus. Â Logika ekonomi yang rakus telah menumpulkan kepekaan spiritual mereka, menggantikan rasa hormat pada alam dengan angka-angka keuntungan yang kering dan kosong.
Lebih dari itu, kerusakan ini menciptakan lingkaran setan. Alih-alih mendapatkan keberkahan dari tanah, masyarakat justru menuai bencana. Longsor dan banjir yang terjadi di area tambang ilegal adalah "balasan" nyata dari alam yang terluka, yang tidak lagi mampu menopang beban eksploitasi yang tak bertanggung jawab. Kehilangan fungsi sungai, tercemarnya sumber air bersih, dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah konsekuensi langsung dari pilar Palemahan yang telah runtuh. Ini adalah pengingat yang menyakitkan bahwa ketika manusia merusak alam, mereka pada akhirnya merusak diri sendiri. Tanah tidak akan pernah lagi memberikan kesejahteraan yang berkelanjutan jika terus-menerus dirampas secara paksa. Pada akhirnya, kasus ini adalah cerminan nyata dari sebuah bangsa yang kehilangan arah spiritual, di mana nilai-nilai suci digadaikan demi kilauan emas yang fana. Ia mengajarkan kita bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak akan pernah terwujud tanpa pondasi moral dan spiritual yang kuat. Untuk mengembalikan harmoni di Boalemo, kita harus memulainya dari dalam: merevitalisasi kesadaran akan kesucian alam, menegakkan kembali keadilan sosial, dan kembali pada jalan spiritual yang benar. Ini adalah tantangan yang tidak mudah, tetapi ia adalah satu-satunya jalan menuju kesejahteraan yang sejati dan abadi.
Kasus pertambangan ilegal di Boalemo bukan sekadar masalah lokal, melainkan cermin retak yang menunjukkan krisis multidimensional yang dihadapi bangsa ini. Filosofi Tri Hita Karana memberikan kita sebuah kerangka untuk memahami bahwa semua krisis ini baik lingkungan, sosial, dan spiritual saling terkait dan tidak dapat diselesaikan secara parsial. Artikel ini telah menunjukkan bagaimana kehancuran pilar Palemahan (hubungan dengan alam) akibat eksploitasi, keruntuhan Pawongan (hubungan dengan sesama) karena korupsi, dan kegagalan Parhyangan (hubungan dengan Tuhan) akibat keserakahan, telah menciptakan jurang yang dalam antara janji pembangunan dan realitas penderitaan. Di balik setiap tumpukan emas yang dicuri, ada sungai yang mati, ada masyarakat yang terpecah belah, dan ada jiwa yang kosong. Solusi untuk masalah ini tidak bisa hanya datang dari penegakan hukum yang lebih ketat, karena kita melihat sendiri bagaimana hukum itu dapat dibengkokkan oleh kekuasaan dan uang. Kita harus kembali pada akar budaya dan nilai-nilai luhur yang telah menjaga keseimbangan selama berabad-abad.
Tri Hita Karana menawarkan sebuah jalan keluar. Ia menuntut kita untuk membangun kembali kesadaran kolektif bahwa bumi adalah titipan suci, bukan sekadar sumber daya ekonomi. Ia memaksa kita untuk menegakkan kembali keadilan sosial, di mana tidak ada lagi korban yang dikorbankan demi keuntungan segelintir orang. Dan yang terpenting, ia mengajak kita untuk menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak akan pernah terwujud jika kita hidup dalam ketidakselarasan dengan alam, sesama, dan Tuhan. Ini adalah panggilan untuk bertindak. Pemerintah, akademisi, pemimpin adat, dan setiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk menjadi agen perubahan. Kita harus mengedukasi generasi mendatang tentang pentingnya kearifan lokal, memberdayakan masyarakat dengan alternatif ekonomi yang berkelanjutan, dan secara tegas menolak segala bentuk korupsi dan ketidakadilan. Mari kita bersama-sama membangun kembali jalinan suci yang telah terkoyak. Hanya dengan demikian, kita bisa berharap untuk menciptakan masa depan yang tidak hanya makmur secara materi, tetapi juga kaya akan nilai-nilai moral dan spiritual. Masa depan di mana tanah kembali memberikan kesuburan, masyarakat kembali bersatu, dan hati nurani kembali menemukan kedamaian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI