Arga tersenyum. Hari itu, tidak ada cincin. Tidak ada bunga. Tapi ada janji. Janji yang ditiupkan lewat doa yang diaminkan langit.
Mereka kembali ke rumah masing-masing. Tapi hati mereka telah pulang ke tempat yang sama.
"Sebab cinta bukan tentang siapa yang paling cepat datang,
tapi siapa yang datang dengan benar, dan siap untuk sujud bersama".
Hari itu akhirnya tiba. Hari yang dulu hanya hidup dalam doa-doa malam dan bait-bait rindu yang Najwa simpan rapat di balik sujud. Arga datang, mengenakan kemeja putih bersih, wajahnya tenang tapi matanya penuh haru. Bersamanya, keluarganya datang membawa niat yang dulu hanya ia bisikkan di langit sepi: melamar Najwa.
Di ruang tamu rumah Najwa yang sederhana tapi hangat, Arga duduk dengan sikap dewasa. Tangannya sedikit gemetar saat menggenggam kotak kecil berisi cincin sederhana. Tapi hatinya tidak goyah. Ia tahu, inilah langkah besar yang selama ini ia siapkan.
“Ayah, Ibu…” Arga memulai, menatap orang tua Najwa. “Saya datang bukan hanya membawa cincin, tapi membawa niat yang saya rawat sejak pertama kali mengenal putri Bapak dan Ibu. Saya ingin meminang Najwa, bukan hanya untuk menjadi istri saya, tapi teman seumur hidup saya dalam suka dan duka, dunia dan akhirat.”
Ruang itu hening sejenak. Lalu suara lembut ayah Najwa terdengar.
“Kalau Najwa siap, kami ridha. Semoga niat baik kalian membawa berkah.”
Air mata Najwa jatuh tanpa suara. Dalam hatinya, ia bersyukur: karena laki-laki yang ia tunggu datang dengan langkah nyata, bukan sekadar kata.
Hari Pernikahan
Langit cerah seolah ikut bersyukur. Tak ada hiasan mewah, tapi senyum yang hadir lebih dari cukup untuk menghangatkan suasana. Najwa berjalan pelan menuju Arga, kini resmi menjadi suaminya. Dalam balutan gaun sederhana dan kerudung putih, ia terlihat seperti doa yang akhirnya menjadi nyata.