Setelah pagi itu di taman—saat Arga menyodorkan doa yang ia tulis sendiri—segala sesuatu tak langsung menjadi mudah. Takdir memang sudah mulai menampakkan jalannya, tapi perjalanan menuju penyatuan masih penuh tantangan.
Arga kembali disibukkan dengan pekerjaannya, mencoba menyelesaikan pendidikan yang sempat tertunda. Ia ingin menjadi seseorang yang tidak hanya hadir, tapi mampu memimpin. Sementara Najwa melanjutkan perjuangannya di dunia sosial, hatinya semakin dewasa, matanya semakin jernih melihat dunia.
Hubungan mereka kini bukan lagi “menunggu dalam diam”, tapi “melangkah dengan arah”. Mereka belum menjadi pasangan resmi, tapi komitmen itu ada. Nyata. Saling mendoakan, saling menguatkan, dan saling menjaga dalam batas-batas yang mereka sepakati bersama.
Namun seperti langit yang tak selalu biru, keraguan pun sesekali datang.
“Apa kamu tidak lelah?” tanya Arga suatu malam lewat telepon, suaranya nyaris tenggelam oleh hujan di balik jendela.
“Lelah itu pasti,” jawab Najwa, tenang. “Tapi keyakinanku padamu lebih besar dari rasa lelah itu.”
Hening. Hanya suara hujan yang bicara.
“Dan kamu?” tanya Najwa, pelan.
“Aku takut,” aku Arga jujur. “Takut tak bisa memberimu cukup. Tapi aku lebih takut kehilanganmu karena terus menunda.”
Najwa tersenyum dari balik ponselnya. “Tak perlu sempurna, Ga. Cukup kamu pulang dalam keadaan berusaha. Karena aku tidak sedang mencari malaikat. Aku hanya menunggumu pulang sebagai laki-laki yang berani berjuang.”
Dan malam itu, hujan turun seperti berkah. Tak memadamkan semangat, justru menyuburkan keyakinan.