Mereka belum sampai di pelaminan. Tapi kini mereka melangkah, searah, dua langkah yang perlahan tapi pasti.
"Sebab cinta sejati adalah dua hati yang memilih untuk tetap berjalan,
meski lambat, asal tidak berbalik arah".
Waktu terus berjalan. Arga akhirnya menyelesaikan kuliahnya dengan nilai yang memuaskan. Ia mulai bekerja tetap, menyusun rencana ke depan seperti ia menyusun puzzle hidup—satu demi satu, dengan sabar. Najwa tetap dalam langkahnya: tenang, konsisten, dan semakin mantap dengan pilihan hidupnya.
Hari-hari mereka diwarnai obrolan ringan yang kadang dalam, kadang hanya candaan. Tapi selalu ada arah. Mereka tahu apa yang mereka perjuangkan. Meskipun dunia luar kadang bertanya, "Kapan resmi?"—mereka memilih diam yang dewasa. Sebab, tak semua hal harus dijawab dengan kata. Beberapa cukup dengan sikap.
Suatu hari, di sebuah sore yang tenang, Arga mengajak Najwa ke sebuah masjid kecil di lereng bukit. Masjid itu sederhana, tapi angin yang berhembus dan langit yang membiru menjadikan tempat itu terasa istimewa.
Mereka duduk di beranda masjid, berjarak tapi dekat dalam rasa.
“Aku ingin kita sujud bersama di tempat ini suatu hari nanti,” kata Arga pelan, tapi tegas.
Najwa menatap langit. Matanya berkaca. “Kapan?”
“Segera,” jawab Arga. “Aku sudah bicara dengan orang tuaku. Setelah ini, aku akan datang ke rumahmu. Membawa niat, membawa keyakinan, membawa aku yang mungkin belum sempurna, tapi ingin tumbuh bersama.”
Najwa menutup matanya sejenak. Seakan menahan detak yang berlari terlalu cepat.
“Aku tunggu,” jawabnya. “Dengan hati yang tetap berdoa, seperti selama ini.”