Mereka masih sering bertemu, tapi tak pernah lagi membahas soal "mereka". Semuanya seperti dibiarkan menggantung dalam pemahaman diam. Najwa bukan tidak sabar, tapi ia tahu: menunggu dalam diam adalah perjuangan yang tak kalah berat dari menyiapkan diri.
Sampai suatu malam, saat hujan rintik turun, Najwa mendapat pesan dari Arga:
"Boleh kita bertemu besok? Ada yang ingin aku sampaikan."
Pagi itu, mereka bertemu di taman tempat mereka biasa berdiskusi. Langit biru membentang, burung-burung terbang rendah, dan angin meniupkan aroma rumput yang basah. Arga datang dengan mata yang lebih tenang dari biasanya, dan tangan yang menggenggam sesuatu di balik jaketnya.
“Najwa…” suaranya lirih tapi mantap, “terima kasih sudah tidak pergi.”
Najwa menatapnya, tidak bicara. Hatinya menanti, tapi ia menahan harap.
“Aku belum membawa banyak. Tapi aku datang dengan niat yang utuh,” lanjutnya. “Aku tidak mau menunggu lebih lama hanya karena ingin sempurna. Karena aku tahu, kita akan tumbuh bersama.”
Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil, bukan berisi cincin, tapi sehelai kertas berisi doa. Doa yang sama yang pernah mereka panjatkan—kini ditulis dengan tangan Arga sendiri.
“Aku ingin memulai perjalanan ini. Bukan sebagai teman lagi, tapi sebagai pasangan yang saling menuntun.”
Najwa menahan air matanya. Ia tidak menjawab dengan kata, hanya mengangguk sambil tersenyum. Dalam hatinya, sebuah kepastian telah tiba, lahir dari penantian yang dijaga dengan kesabaran dan doa.
"Karena cinta sejati bukan tentang siapa yang datang paling cepat,
tapi siapa yang tetap tinggal—dan akhirnya kembali dengan kepastian".