UGA tidak luput dari meningkatnya komitmen terhadap kekerasan yang menjadi ciri khas Kiri Baru nasional pada akhir 1960-an. Dalam lima kesempatan terpisah dari tahun 1968 hingga 1972, para aktivis mahasiswa mencoba membakar gedung militer di kampus, namun gagal.
Meningkatnya sentimen antiperang di kalangan warga Amerika (1964-1973) memicu banyak protes di Georgia. Demonstrasi antiperang terbesar terjadi pada musim gugur 1969, sebagai bagian dari kampanye "moratorium" nasional.
Pada  Oktober dan November, ribuan mahasiswa berkumpul di kampus-kampus di seluruh negara bagian untuk mengenang mereka yang gugur di Asia Tenggara.
Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, Atlanta menyaksikan banyak demonstrasi antiperang, yang sebagian besar mengikuti rute Peachtree Street menuju Piedmont Park.
Prancis: Unjuk Rasa Mei 1968 Â Satu Bulan Menegangkan
Puncak gerakan mahasiswa juga terjadi di Prancis. Perguruan tingginya terlambat membaca aspirasi mahasiswa seperti yang terjadi juga di Jerman Barat.
Sistem universitas Prancis yang  kaku dan hierarkis, untuk mengecam ketimpangan dalam kapitalisme dan imperialisme sebagaimana dirasakan secara global dan khususnya dalam pemerintahan de Gaulle. Mahasiswa melihat kampus dibangun tanpa mempertimbangkan kehidupan sosial mahasiswanya.
Dengan berlangsungnya Perang Vietnam dan meningkatnya penolakan sosial terhadap keterlibatan AS dan Prancis, Eropa baru dihadapkan pada gejolak internal yang parah. Prancis  saat itu  mengalami gerakan sosialis yang kuat yang mengancam tatanan yang telah mapan.
Ketika Revolusi Mei meletus, de Gaulle hampir merayakan 10 tahun masa jabatannya. Ia naik ke tampuk kekuasaan pada  1958 melalui cara-cara ekstra-konstitusional, akibat disintegrasi Republik Keempat di puncak Perang Aljazair (1954--62). Pemuda Prancis umumnya berasumsi bahwa mereka hidup di bawah kediktatoran politik yang seakan-akan jinak.
Dua partai oposisi utama, Partai Radikal dan Partai Sosialis, pada dasarnya telah runtuh, yang berarti perubahan politik progresif melalui jalur parlemen konvensional hampir mustahil. Terlebih lagi, saat itu merupakan era "Dunia Ketiga" yang penuh semangat. Bagi generasi mahasiswa tersebut, baik Partai Komunis Prancis maupun Marxisme ortodoks tidak terlalu menarik.
Sebaliknya, idola mereka adalah Che Guevara, Ho Chi Minh, bahkan juga Mao Zedong. Gambaran-gambaran pengeboman karpet, serangan napalm, dan pembantaian warga sipil oleh pasukan AS di Vietnam---bekas wilayah pengaruh Prancis---mendominasi berita malam. Karena semua alasan tersebut di atas, universitas-universitas Prancis bagaikan tong mesiu.
