Tidak ada omongan lain. Aku duduk di belakang. Â "R" banyak bercerita soal perubahan yang mulai terjadi di Bandung di bawah wali kota baru.
"Apakah Bandung memang hebat?" tanyaku.
"Buktinya kamu suka ke Bandung, itu jawaban aku. Tetapi memang itu anugerah buat Bandung dikelilingi bukit-bukit dan banyak universitas," jawab "R". "Kang Emil membuatnya makin menarik, kamu lihat sendiri akan?"
Kami berpisah di Fatmawati dan aku menaiki angkot tak sabar membaca lanjutan cerita Widy.
Bandung, Â Cipaganti, Â Rabu, 1 Januari 1958Â
"Widy!" Seru Rinitje di halaman rumah Hein, di sana ada orangtua Hein, beberapa sepupunya.
Widy datang bersama Syafri, Angga, Utari, Paramitha, Yoga dan Mirna. Mereka diundang merayakan syukuran tahun baru oleh Hein. Â Di sana sudah banyak orang Belanda. Mereka pesta kebun sore itu menikmati kue.
"Aku dapat kabar dari Nura, penguasa militer terpaksa melarang pertunjukkan Perang Bubat di Tasikmalaya. Mia kecewa karena sudah berlatih. Rupanya Siliwangi khawatir menambah ketegangan antar daerah," tutur Syafri.
"Saat ini Indonesia sangat menegangkan. Kami tidak tahu sampai kapan ada di Bandung," ucap Ayah Hein. "Tanah kami sudah diambil alih dan kami sudah mendapatkan pembayaran."
"Berarti bisa seminggu atau dua minggu lagi, kami ke Belanda dan itu bukan pulang bagi aku," kata Hein.
"Yuuk, kita gelar acara dansa, ada lagu baru?" Angga memecahkan kebuntuan.