Kami membawa bekal makanan dan pakaian lengkap untuk dua minggu dan tentunya pakaian terbang dengan selendang. Kami sudah mencobanya sebelum keberangkatan. Kami juga membawa sabun dan handuk.
Sebuah pesawat Guru Minda yang cukup jauh dari Preanger Delapan merupakan milik Dzul sudah disiapkan. Dekat hutan. Kami berangkat malam hari tentunya. Â Pesawat kemudian melesat meninggalkan Titanium menuju Bumi melalui lubang cacing.
Aku dan enam perempuan lain tertidur  ketika pesawat melesat melalui lubang cacing, lorong waktu untuk mempersingkat pejalanan antar bintang dan entah berapa lama kami terbangun memasuki atmosfer Bumi.
Guru Minda melayang di atas awan dan Dzul bisa menemukan lokasi telaga yang dicari.
"Kita turun dengan pakaian berselendang dan membawa tas kecil. Sabrina juga bawa senjata berjaga!" ujar Mawar Merah memimpin perjalanan.
Aku bernafas lega, kami kemudian memakai pakaian dengan peralatan terbang dan memegang selendang sebagai kendali. Lalu dipimpin Mawar Merah kami turun bersama-sama, sementara Hiyang Kucai dengan pakaian kamuflase juga turun melompat  dan kami tiba di tepi telaga.
Kami merasakan sensasi turun dari awan ke Bumi. Mudah-mudahan tidak ada manusia yang melihat kami, turun menyaksikan panorama hijau yang menghampar. Peralatan yang dicipatakan Mawar Merah melindungi kami dari inginnya udara. Tahu-tahu kami mendarat di tepi telaga.Â
"Wow!" Teriakku ketika melihat sekeliling, udara yang sangat bersih. "Inilah Bumi ketika masih hijau dan asri!"
" Ya, masih ada harimau, aku bawa senjata," ucap Sabrina. "Deteksi panas tidak menemukan mahluk hidup sekitar telaga."
"Oke, Nawang, Melati Putih dan aku ada di sisi Timur, Sabrina dan yang lain di sisi Barat. Telaganya aman."
Itu strategi memecah di telaga kecil itu, hingga kami bisa saling mengawasi.Â