film yang beredar masa itu. Â Artikel Respati Wirawan di Majalah Aneka 20 Oktober 1957 menyinggung hal itu.
Indonesia mencatat sejarah kenakalan remaja yang cukup serius pada 1950-an dengan munculnya apa yang disebut crossboys. Kemungkinan akibat pengaruhMelakukan dokumentasi setelah main ke perpustakaan nasional adalah salah satu hobi saya di waktu senggang. Di rumah banyak tumpukan fotokopian, catatan tulisan tangan yang takutnya hancur dimakan zaman.  Untuk itu satu demi satu saya tayangkan di Kompasiana.  Pada 2024 ini saya sudah membuat  tulisan  bertajuk Wanadri dan Mapala 1964-1969 Awal Gerakan Pencinta Alam Indonesia  dan  Pajak Desa  dalam Otoesan Hindia. Â
Mengenai crossboy saya sudah menulis beberapa kali di Kompasiana, di antaranya  Bandung 1957: Aksi Cowboy Remaja dan Booming Sekolah Menengah dan  Bandung 1957 Menindak Keras Crossboy
Kalau saya sendiri melihat bahwa fenomena geng motor saat ini  di sejumlah kota seperti Bandung,  Jakarta, juga kota-kota kecil seperti Cirebon, Bogor, Tasikmalaya  sebangun dengan fenomena remaja sekitar pertengahan 1950-an hingga 1960-an apa yang disebut crossboy kadang disebut cowboy.
Fenomena kenakalan remaja -bahkan kriminalitas remaja ini juga terjadi  di Amerika Serikat mengalami kepanikan atas kejahatan remaja pada 1950-an menurut ulasan Jason Barnosy dalam tulisannya bertajuk The Violent Years: Response to Junevile Crime in The 1950s yang dimuat di Polity Volume 38 number 3, July 2006.
Pada waktu itu  retorika politik maupun ketakutan budaya pada masa itu tampaknya mengarah langsung pada pendekatan "bersikap keras". Namun ternyata respons pemerintah terfokus pada kebijakan pencegahan dan rehabilitasi.
Sebuah dokumen mengenai kenakalan remaja  AS  juga menyebutkan https://www.bartleby.com/essay/Delinquency-In-The-1950s-PC8CGX428XV  Film dan acara TV  pada 1950-an tumbuh lebih cepat setelah Perang Dunia II karena harga TV menjadi lebih terjangkau dan orang-orang memiliki lebih banyak waktu luang.
Banyak film populer pada 1950-an memiliki konten yang tidak sesuai untuk remaja saat itu, namun masih ditonton oleh orang-orang yang berusia di bawah 18 tahun.  Film itu antara lain  "High School Confidential!", "Blackboard Jungle", and "So Young So Bad". The Film "High School Confidential!" dibintangi oleh seorang anak tangguh yang masuk ke sekolah menengah baru yang memiliki kepribadian "stoner" yang khas.
Nah di Indonesia, sebelum femomena crossboy merebak kenakalan remaja sudah ada. Â Pada 1950-an awal sebagai akibat perang banyak anak Indonesia di bawah umur terlantar dan ditangkap polisi karena melakukan kejahatan.
Menurut laporan Perhimpunan Pro Juventure Bandung (semaca lembaga non ptofit yang konsen pada kenakalan remaja) selama 1951 terdapat 221 anak yang harus diurus oleh Pro Juventure.
Dari jumlah itu 112 di antaranya terlibat tindakan kejahatan.  Pada  1952 jumlah anak-anak yang diurus pro juventute mencapai 200 orang. Kejahatan yang dilakukan pencurian, pencopetan, menodong hingga pencurian.
Pengaruh Film atau Ketiadaan Wadah Berekspresi
Kenakalan remaja menjadi lebih serius pada paruh kedua 1950-an dengan  identitas crossboys. Saya menduga  pengaruh film Hollywood seperti A Rebel Without A Cause (1955) yang dibintangi James Dean diduga menjadi salah satu pemicunya.  Pada 1957 pemerintah melalui aparat kepolisian dan militer akhirnya menindak kelompok ini
Tindakan ini terjadi bersamaan ketika situasi politik nasional kian memanas dan meningkatnya perasaan anti Barat dan yang dianggap berbau Barat. Rupanya keberadaan para cowboy atau crossboy rupanya dianggap sebagai efek negatif dari budaya Barat. Sejumlah perilaku para crossboy ini dinilai tidak bisa lagi ditolelir.
Pertengahan Oktober 1957 Polisi Bandung giat melakukan penangkapan terhadap crossboy terutama yang bergabung dengan geng bernama Tiger Mambo dan Jaket Merah. Paling tidak dua anggota Tiger Mambo masuk tahanan.
Menurut Pikiran Rakjat, 22 Oktober 1957 Kepala Reskrim Keresidenan Priangan Raden Imam Supojo mengatakan penangkapan dilakukan karena anak-anak itu melakukan keonaran. Mereka yeng berusia belasan tahun itu meniru-niru apa yang ada dalam film.
Pada 28 Oktober 1957 sebanyak 9 orang crossboy dari Jakarta laki-laki dan perempuan ditangkap ketika naik sepeda motor di Jalan Stasiun Bandung. Kemudian mereka digiring ke kantor polisi Bandung  seperti dikutip dari Pikiran Rakjat 29 Oktober 1957
Nah, saya menemukan tulisan Wirawan Respati di Majalah Aneka pada 1957 yang juga menduga kemunculan crossboy karena pengaruh film. Â Agak susah menemukan siapa dia, namun dia sering menulis tentang teater di majalah yang sama dan menduga dia adalah tokoh teater dan budayawan.
Hanya saja dia mencontohkan film bertajuk  A Life in The Balance (1955). Kalau saya lacak film itu berkisah film thriller detektif pembunuhan berantai dengan sasaran perempuan muda, yang ditemukan terikat tangannya di belakang.  Rupanya menurut Wirawan ada seorang pemuda di Bogor mendapat inspirasi dari film itu untuk membunuh pacarnya.
Crossboy berhubungan dengan masalah paedagogi terkait remaja.  Wirawan menduga para pemuda kekurangan kesibukan yang bisa menyalurkan energi muda mereka. Organisasi pemuda masa itu lebih banyak diorganisasi partai politik  dan masih banyak pemuda yang menganggur. Crossboy adalah cara mereka menyalurkan ekspresi dan energi muda.
Wirawan Respati
Artikel yang ditulis Wirawan Respati  berjudul Crossboys: Di Antara Masalah Paedagogi dan Film dimuat dalam Aneka Nomor 24 tertanggal 20 Oktober 1957 menjadi perwakilan bagi budayawan masa itu  melihat fenomena crossboy. Berikut tulisannya yang sudah melalui pengeditan.
Kesan-kesan di negeri kita belakangan ini dikejutkan oleh banyak berita yang menyedihkan buat para paedogog (pendidik), apa yang disebut sebagai crossboy yang merajalela di kota Bandung, Solo, Bogor, entah di mana lagi.
Lebih dari itu banyak terjadi kemaksiatan-kemaksiatan yang keji dilakukan oleh para pemuda.
Berapa bulan yang lalu seorang pemuda Bogor telah membunuh  bekas pacarnya dengan sbeilah pisau dengan 13 mata luka, justru pada pagi hari di dekat rumah korban menjelang waktu berangkat anak-anak ke sekolah.
Baru-baru ini pula di Solo seorang pemuda telah memperkosa seorang gadis cilik berumur 10 tahun.
Kedua contoh ini telah jatuh ke tangan pihak berwajib urusannya dan langsung atau tidak orang mengatakan kemaksiatan itu terjadi disebabkan pengaruh buruknya film. Â Sebab di pembunuh yang menghabisi pacarnya malamnya baru saja menonton film A Life in Balance (yang juga bermotifkan suatu pembunuhan), sedang di pemerkosa dari solo adalah tukang catut karcis bioskop.
Apa yang merajalela sekarang dengan nama Crossboy tadi dengan nama mentereng seperti Selendangboys, Setanboys dan lain sebagainya adalah sangat jelas lebih massal dan bahayanya akan massal pula, sebanyak-banyaknya.
Jadi kalau mereka hendak mengancam teror atau mengobrak-abrik suatu pesta atau toko-smeoga jangan terjadi kejadian seseram ini-akan besar pula kerusakan yang mereka timbulkan, karena mereka bertindak secara gerombolan.
Sampai naskah ini dikerjakan kabar yang dimuat di dalam koran hanya menyebutkan keonaran yang mereka timbulkan dalam pesta orang yang melakukan perhelatan. Â Namun marilah kita mencoba melihat letak itu crossboys di antara paedagogi dan film.
Crossboys adalah bocah-bocah yang terorganisir. Mereka mungkin sekali adalah pemuda-pemuda yang tidak punya kerja dengan perkataan yang sembrono: gelandangan.
Tetapi tidaklah aneh, bahwa di antara mereka kebanyakan adalah anak-anak sekolah. Sungguhpun akan hal ini kami belum mengadakan penseknamaan (meneliti) yang lebih jauh.
Pemuda adalah suatu tingkat usia yang sedinamis-dinamisnya, kita sama-sama tahu. Â Jadi adalah suatu kewajaran bahwa pemuda-pemuda yang tak berketentuan kerja dan sekolah lalu mengorganisir apa yang disebut Selendangboys, Setanboys dan entah apa Boys pula.
Dan secara individual dan kolektif pemuda-pemuda tadi adalah Garapan buat pedagogi. Dan emreka itu di antara lapisan-lapisan masyarakat juga berhadapan dengan film yang banyak memberikan berita kepada mereka. Itulah sebabnya di sini dicoba apakah benar-benar film juga mempunyai fungsi mempengaruhinya.
Paedagogi atau ilmu mendidik tidak bakalan keliru punya hubungan yang mesra dengan masalah ini. Untuk mengamati kata paedaogi ini kitab isa mengambil sudut pengambilan yang kasar saja.Â
Kita mulai saja biar agak seram dari Plato di dalam bukunya yang terkenal perihal negara itu mengajarkan kata paedagogi dan politik sebagai ajaran pembentukan masyarakat dan serentak juga pembentukan individu.
Kedua kata itu tidak dipisahkan Plato. Kalau kita mengambil kata lain etika dan psikologi  adalah kata yang dekat hubungannya dengan paedaogi.  Dan baik di kota-kota unversitas seperti Brussel, Leuven, Gent, Luik atau Yogyakarta, paedagogi adalah suatu jurusan khusus di dalam pengaran perguruan tinggi, setidaknya sesudah Perang Dunia Pertama.
Dan untuk sampai ke saripati paedagogi kita memahatkan kalimat: Paedagogi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia hendak merubah, mengembangkan dan menyempurnakan dirinya sebagai manusia.
Jadi sudah jelas sekarang bahwa inti ilmu pendidikan adalah suatu kerja yang diarahan perubahan perkembangan dan penyempurnaan dirinya. Dan dilihat secara filosofis para crossboys tadi dengan organisasinya yang mengarah pada Teddyboys di Inggris zaman lalu itu juga hendak merubah dan menyempurnakan dirinya. Â Hanya cara dan arahnya agaknya kurang bisa dikatakan benar.
Film, kita sering sama-sama menonton adalah suatu hasil cipta dan pikir manusia yang manfaatnya bukan saja terbatas dalam dunia entertainment tetapi juga kegunaan seperti dalam lapangan pengetahuan, keagamaan, olahraga dan lain-lain. Ingat saja film-film pengetahuan seperti yang biasa diputar di dalam kuliah-kuliah kedokteran, pertanian, kepolisian dan lain-lain.
Film-film yang di bawah ke tengah benua Afrika, Irian oleh misi-misi dan zending juga dipergunakan untuk menentukan dengan tepat.
Tetapi yang amat langsung berhubungan dengan crossboy adalah film-film tontotanan itu. Film-film yang sudah bijaksana diamati oleh sensor kita. Film-film yang bukan sembarangan diedarkan atau dipotng-potong. Â
Sedikut banyak kita coba amati di lingkungan arti kata crossboys, paedagogi dan film bagaimana saing berhubungan.
Kita bisa lebih dulu bicara tentang sistem pendidikan, keadaan sosial, ekonomi dan kulturil masyarakat dan lain-lain. Tetapi ini terlalu berat untuk bisa dilakukan sendiri.
Pengisian kesibukan pemuda-pemuda kita, baik di luar maupun di dalamnya sangat kekurangan. Â Himpunan pemuda yang didukung partai-partai tidak banyak berbuat apa-apa. Kita hanya punya Pekan Olahraga Pemuda.
Organisasi pelajar masih banyak yang memerlukan disiplin  dan pengisian yang sebaik-baiknya seperti olahraga, rekreasi-rekreasi lain, studi-studi klub, kegiatan yang dekat dengan kesenian (seni Lukis, dama dan lain-lain), tidak mendapat perhatian dengan benar.Â
Atau ada suatu "kelas" pemuda yang tersisih? Misalnya mereka yang duduk di sekolah-sekolah partikelir yang kurang bertanggungjawab  hingga menderita kejatuhan dalam ujian kenaikan kelas. Nah kalau begitu Kementerian PP dan K khusus masalah sekolah menengah partikelir ini perlu melakukan penyelidikan. Sebenarnya juga harus dilakukan pada sekolah-sekolah yang tidak bersubsidi masih dimiliki badan pendirian suatu sekolah menengah pertama misalnya.
Dengan diadakannya suatu penyaringan di dalam soal ini saja oleh Kemenerian PP dan K bukan saja mengurangi suburnya croosboy tetapi juga menyelamatkan pendirian sekolah advonturir agar lebih tahu soal paedagogi yang menyangkut crossboy.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H