Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Politik dan Krisis Beras di Jawa Barat 1950-an Awal

25 Juli 2021   12:29 Diperbarui: 31 Juli 2021   19:42 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian dengan melalui grosir-grosir yang tergabung dalam Ikatan Grosir Beras Indonesia dan sebagian lagi melalui grosir-grosir milik orang Tionghoa yang ditunjuk oleh Jajasan Bahan Makanan (Bama).

Setiap grosir boleh mengambil keuntungan Rp0.05 (5 sen) per kilogram. Yang masuk IGBI (Ikatan Grosir Beras Indonesia) sebanyak 9 grosir membanjiri beras suntikan itu kepada 18 pasar di Kota Bandung.  Banyaknya beras dari IGBI 500 ton dan 300 ton dari grosir Tionghoa.

Setiap hari rata-rata dikeluarkan 16-20 ton. Apa yang dikeluarkan hari itu tidak boleh disimpan dan harus dijual hari itu juga. Hal itu untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendaki.    

Di Kota Bandung, usaha ini  bisa berjalan. Tidak demikian dengan tingkat kabupaten di mana suntikan beras  terlambat di kabupaten-kabupaten.  Di kabupaten wilayah Priangan grosir-grosir ditunjuk oleh kepala daerah masing-masing (Bupati). 

Beras suntikan untuk Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang terlambat. Beras suntikan untuk Desember baru dibereskan keuangannya pertengahan Januari ini.  Keterlambatan karena kesulitan keuangan.  Penjualan juga dilakukan dengan antri.     

Hingga pertengahan 1952 beras menjadi isu utama. Pikiran Rakjat 1 Juli 1951 melaporkan  Bandung masih membutuhkan sekitar 7.500 ton beras per bulan.  Atas desakan beberapa organisasi buruh di Kota Bandung dibentuk Badan Penyelenggara Beras yang dipimpin oleh suatu dewan yang terdiri dari wakil-wakil jawatan dan organisasi yang bersangkutan. 

Langkah ini dilakukan karena tetap saja buruh adalah kalangan yang paling usah mendapatkan beras.  Buruh mendapatkan beras dengan jalan kredit hingga harga dan kualitas sejalan tidak merugikan buruh.

Menurut laporan dari buku profil "Propinsi Djawa  Barat  Republik Indonesia", yang diterbitkan pada 1953 disebutkan pada 1952 sebetulnya terjadi perbaikan kebijakan pertanian secara besar-besaran. 

Luas sawah padi meningkat sebanyak 1.614.002 H dibandingkan pada 1951 seluas 1.135.390 Ha.   Perluasan ini juga disebabkan iklim yang lebih baik. Musim hujan akhirnya turun pada awal 1952 dan kembali normal pada September 1952. 

Namun produksi padi turun dari 25,2 kuintal/ha pada 1951 menjadi 24 kuintal/Ha pada 1952 karena hama padi yang lebih merusak dibanding 1951.   Namun rupanya pada 1952 terjadi penambahan bendungan dan proyek pengairan, seperti proyek Barugbus di kawasan Cikampek mulai dimanfaatkan petani.

Kebijakan Pemprov  Jabar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun