Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebaran, Ritual, Kultural, dan Kenangan

11 Mei 2021   05:33 Diperbarui: 11 Mei 2021   21:34 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sewaktu hunting artis Poppy Sovia pada 7 September 2010 (1431 H) untuk cover sebuah tabloid telekomunikasi.-Foto: Dokumentasi Pribadi.

Toko Hassaram di Pasar Baru menawarkan kain untuk dibuat pakaian seperti Jersey lebar 120 cm dengan harga Rp12 per meter, Silver Lame lebar 90 cm dengan harga Rp35 permeter untuk perempuan. Sementara untuk laki-laki ditawarkan kain Cowboy untuk kemeja Rp15 per meter hingga yang termahal Fancy Wool dengan lebar 140 cm (impor dariInggris) dengan harga Rp 37,50 per meter. Toko Bombay juga di Pasar Baru menawarkan Satin Polos semeternya Rp 6,35, Silver lame dengan lebar 50 cm dijual dengan harga Rp40 per meter. Untuk kain Mixwool dijual semeternya dengan harga Rp30.

Dalam khotbahnya tokoh Masjumi Jawa Barat, Isa Anshary mengungkapkan pandangan yang pas dengan situasi masa itu. khatib Idul Fitri pada 23 Juni 1952 di Lapangan Tegalega, Bandung

"Kita rajakan hari ini dengan rasa sjukur dan cemburu. Kita besarkan Allah dengan utjapan takbir, kita memudji kepadanja dengan utjapan tammid. Kita kenakan pakaian baru (atau pakaian) jang masih bersih. Kita hidangkan makanan lezat untuk santapan hari raja.

Saudara2 kita di luar kota jg hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian, jang kehilangan rumha, karena dibakar habis oleh gerombolan jang tidak bertanggungjawab, merasa terpaksa meninggalkan kampung halaman mengungsi ke tempat lain mentjari keamanan jiwa, karena tak kuat hidup dari suasana ancaman dan bencana, Bagi mereka Idul Fitri mereka rajakan tidak dengan menggunakan pakaian baru,tidak dengan makanan lezat, tidak dengan hati gembira dan sukatjita, akan tetapi mereka rajakan hari besar dengan air mata meleleh, perasaan jang luka dan duka... (Pikiran Rakjat 25 Juni 1952).

Pada waktu itu Jawa Barat masih dalam situasi keamanan kurang kondusif karena pemberontakan Darul Islam dan masih banyak gerombolan bersenjata di sejumlah wilayah.  Saya tidak membayangkan apakah umat muslim di India pada masa pandemi ini masih bisa memikirkan baju baru?

Catatan lain  menyebutkan Tradisi membeli pakaian baru jelang Lebaran dan memakainya sewaktu Lebaran telah berjejak cukup lama di Indonesia. Snouck Hurgronje, penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial, mencatat kebiasaan ini pada awal abad ke-20.

"Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan," tulis Snouck dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, 20 April 1904, yang termuat dalam "Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889--1939 Jilid IV" seperti yang dikutip dari tulisan Hendaru Tri Hanggoro "Menelusuri Tradisi Beli Pakaian Baru Menjelang Lebaran" dalam "Historia", 29 April 2021.

Dalam artikel tersebut  Hendaru mengungkapkan bahwa sejak akhir abad ke 19 dan awal abad 20 rakyat jelata mulai berpakaian barat seperti sepatu dan celana panjang, kecuali kain penutup kepala mereka, tidak lagi peci dan sarung.  Dia mengutip pernyataan Snouck bahwa tradisi Tahun Baru orang Eropa.

Intervensi bisnis terhadap tradisi membeli baju baru semakin marak dengan munculnya produsen baju muslim yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan mode bahkan busana muslim pun mengenal premium, ekslusif alias dibuat terbatas.  Ramadan adalah booming bagi pelaku usaha busana muslim untuk meningkatkan omzetnya.

Hal yang sama saya kira juga terjadi dalam pengiriman kartu lebaran-yang sekarang tinggal sejarah karena sudah digeser oleh SMS, media sosial dan whatsapp, serta berbagai aplikasi chat lainnya. Tradisi mengirim kartu lebaran terkait dengan pengaruh Eropa sudah ada sejak masa Hindia Belanda, tentunya di kalangan terbatas dan terkait dengan perkembangan kartu pos.

Ibu saya juga cerita bahwa tradisi mengirim kartu lebaran tidak banyak di zaman dia muda sekitar 1950-an dan setahunya, tidak melakukan atau menerima kartu lebaran.  Begitu juga dengan parsel tidak menjadi tren masa itu.  Ibu saya baik ketika tinggal di Jakarta maupun Bandung hanya membenarkan adanya belanja baju baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun