Kartu lebaran saya perkirakan populer sekitar 1970-an. Hal ini dibenarkan oleh pemilik Toko Jaya Usaha yang terletak di Jalan Dalam Kaum No. 20 Bandung bernama Apo Damidi dalam wawancaranya dengan Bisnis Indonesia pada 2011 (1).
Pemilik toko yang sudah berdiri sejak 1965 ini mengakui kartu lebaran pernah menjadi primadona di tokonya. "Ada masanya para remaja era '70an rebutan kartu pos, terutama yang bikinan Amri Yahya, pelukis terkenal dari Yogyakarta," kisah Apo.
Lebaran dalam Kenangan
Sebetulnya juga era 1950-an awal sekolah-sekolah mendapat pembagian baju dari Unicef, baju second tetapi masih bagus-bagus. Namun apakah pembagian baju untuk anak setara sekolah dasar itu (dulu sekolah rakyat) dekat lebaran atau tidak, barangkali tidak. Â Hanya kalau membeli baju baru dilakukan di pasar tradisional seperti Pasar Santa di Jakarta Selatan atau Pasar Baru di Kota Bandung.
Kalau saya sendiri masih kanak-kanak ikut berburu baju baru biasanya di Pasar Blok M, Jakarta Selatan, yang era 1970-an atau kalau di Bandung di Nusantara, alun-alun.Waktu itu hang out di kawasan itu sudah bergengsi.  Seingat saya mal yang mentereng masa saya anak-anak, baru muncul ketika saya remaja awal, yaitu  Aldiron Plaza, Jakarta Selatan  sekitar akhir 1970-an atau 1980-an.
Catatan lain, terkait lebaran di sudut kebudayaan populer, umumnya  majalah atau tabloid media cetak, menjadikan hari raya sebagai cantolan berita dan biasanya cover disesuaikan. Hal ini saya kira sudah terjadi pada era 1950-an, hingga era senjakala majalah cetak pada 2020-an ini. Fenomena ini menjadikan lebaran sebagian bagian dari kebudayaan populer.  Hal ini juga terjadi pada momen menyambut Natal bahkan imlek.  Â
Termasuk saya sebagai jurnalis. Yang paling berkesan waktu bekerja di sebuah tabloid telekomunikasi  berburu artis dengan busana sesuai untuk menyambut hari raya Idul Fitri untuk jadi sampul depan.
Kalau artis itu memang berhijab seperti Zaskia Mecca, tidak masalah. Terkadang artis yang diburu sedang berada dan sebgaian besar janjiannya di lokasi syuting, ya di studio televisi dan belum tentu membawa busana muslim, jadi kami mau tidak yang membawakan kerudung untuk dikenakan sang artis agar pas dengan momentumnya.
Lebaran juga erat silaturahmi-sayangnya sulit terjadi di era pandemi, biasanya kami berkunjung ke sanak saudara ibu atau ayah yang lebih tua, setelah salat Id. Untuk salat Id, tempat favorit biasanya Masjid al Azhar, karena dekat dengan rumah kakak ibu saya di Kebayoran Baru.
Salah satu khatib yang paling kerkesan ialah almarhum Buya Hamka seingat saya pada 1980-an dengan kutbah yang kritis, hingga benar-benar didengarkan dari awal sampai akhir. Kadang khatib berkutbah tidak menarik orang mendengarkannya, hingga seperti masuk kuping kanan keluar dari kuping kiri. Tidak demikian dengan Hamka. Â Masjid al Azhar biasanya penuh hingga lapangannya bahkan sampai ke jalan.