Pada waktu dan kesempatan yang berbeda saya pernah mengunjungi tiga museum yang berbeda di tiga kota. Ketiga museum itu memuat koleksi sejarah lokal dengan ciri khas masing-masing dan harusnya menjadi destinasi wisata wajib bagi pelancong yang datang ke kota itu.
Ketiga museum yang  saya review adalah Museum Geologi di Bandung, Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta dan Museum Balaputera Dewa di Palembang.  Tiket masuk ketiga museum in terjangkau dan benar-benar ditujukan bagi wisata sejarah dan edukasi. Sayangnya peminat tidak terlalu banyak. Â
Musuem Geologi: Jumpa Tyrannosaurus dan Homo Erectus
Ketika saya berkunjung ke Museum Geologi yang terletak di Jalan Diponegoro Bandung nomor 57 medio Agustus lalu, tidak terasa ada perubahan ketika saya berkunjung pada 2011. Namun bagaimana pun juga museum ini merupakan museum unik bagi saya. Harga tiketnya Rp 3000 per orang untuk wistawan lokal dan Rp 2000 bagi pelajar dan mahasiswa. Â Sementara untuk wisatawan asing Rp 10.000.
Pada lantai pertama pada Ruang Geologi Indonesia diperlihatkan secara visual bagaimana pembentukan alam semesta dan contoh-contoh batuan seperti emas, fosfat, sulfida, hingga kondisi geologi Indonesia. Â Pengunjung museum disajikan kronologi awal kehidupan sejak 3,8 miliar tahun lalu.
Rekonstruksi Asia Tenggara 50 juta tahun lalu dipaparkan dengan jelas. Â Dalam rekonstruksi itu yang disebut Pulau Sulawesi tercerai antara bagian Barat, Timur dan Tenggara.
Pada aula lain terdapat peta Danau Bandung dan sejarahnya yang memberikan informasi lengkap sekitar 135 ribu tahun lalu yang disebut Kota Bandung adalah danau yang luas dengan Cileunyi, Cililin, Soreang, Banjaran, Ciparay, Majalaya, sebagai batas-batasnya.Â
Bagian yang paling digemari oleh para pengunjung terutama anak-anak adalah kerangka hewan purba Tyrannosaurus Rex. Hewan ini sewaktu hidup tingginya 6,5 meter, panjang 14 meter dan berat 8 ton. Â Kerangka hewan ini berada di aula kedua di lantai pertama bersama kerangka badak Jawa , gajah purba, kerbau purba yang panjang tanduknya 3 hingga 4 meter. Â Â
Kelebihan museum ini karena letaknya strategis dekat dengan Gedung Sate, sehingga bisa dijadikan satu paket wisata dalam satu kali kunjungan. Selain informasi soal geologi dari negeri ini, gedung ini termasuk bangunan bersejarah.Â
Saran saya pedagang kaki lima di antara Gedung Sate dan Museum ini dijadikan komplementer, juga pedagang iket Sunda yang pernah saya lihat dengan harga tetap kaki lima. Â Sehingga pengunjung tidak perlu jauh-jauh mencari makan. Â Waktu kunjungan paling lama satu jam sudah puas hingga bisa dipaketkan dengan kunjungan ke Gedung Sate.
Satu tur Wisata yang menjadikan Kota Bandung sebagai destinasinya sebaiknya berkunjung di dua tempat ini pagi hari sambil sarapan lontong kari atau kupat tahu sebelum pindah ke destinasi lain.  Musuem ini buka  pada 09.00 s/d sore pukul 15.30 wib pada hari Senin sampai Kamis, dan pukul 09.00 s/d pukul 13.30 siang pada hari Sabtu dan Minggu.
Benteng Vredeburg: Membaca Sejarah Lokal Yogyakarta
Kurang dari satu kilometer dari Jalan Malioboro menuju Jalan Ahmad Yani ada objek wisata sejarah yang wajib dikunjungi para wisatawan bila menjadikan Yogyakarta Kota sebagai destinasi wisatanya, Benteng Vredeburg.
Objek wisata itu satu paket sebetulnya  dengan kunjungan ke Kraton yang letaknya berdekata. Ketika saya menulis soal Yogyakarta untuk sebuah majalah wisata pada 2014 lalu, saya memilih pagi hari setelah sarapan di kawasan Malioboro.Â
Gempa bumi melanda Yogyakarta pada 1867 Â merusak benteng ini dan akhirnya dibangun lagi dengan nama Vredeburg atau benteng perdamaian. Â Di dalam benteng itu terdapat bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit, rumah residen dengan saya tampung 500 orang. Â
Tiket masuk pada 2014 Rp2000 dan sekarang menurut situs Kemdikbud menjadi RP3000 untuk wisatawan lokal. Â Tiket untuk wisatawan asing Rp10.000 tidak berubah.
Dalam bangunan di sisi benteng terdapat isi museum sebenarnya, yaitu diorama sejarah Perang Dipoonegoro, mulai ketika Pangeran Diponegoro menyusun strategi bersama para pengikutnya pada Juli 1825, Kongres Pertama Budi Utomo pada 3-4 Oktober 1908 di Kweekschool Yogyakarta, berdirinya Muhamadyah di Kauman pada 18 November 192, pemogokan buruh gula sekitar Yogyakarta pada Agustus 1920 hingga peristiwa lain pada periode pergerakan hingga Pendudukan Jepang.
Selain diorama, terdapat busana prajurit Diponegoro dan persenjataannya, serta senjata-senjata yang dimiliki Belanda. Â Dengan demikian nuansa lokal dapat tetapi perspektif nasional juga dapat. Itu sebabnya saya menjadikan Benteng Vredeburg sebagai museum pilihan.Â
Letaknya strategis menjadikan museum itu akan sempat disinggahi, seperti halnya Museum Geologi hanya butuh waktu sejam untuk menjelajahi museum termasuk berfoto. Hanya saja saran saya seperti halnya Museum Geologi, Tour Guide sebaiknya menyebar atau ditempatkan di sudut strategis.
Dibangun pada 1978 dan diresmikan pada 5 November 1984, Museum Balaputera Dewa adalah tempat yang tepat bagi mereka yang ingin tahu sejarah dan budaya Palembang.  Saya berkesempatan mengunjungi museum yang terletak di Jalan Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan ini  bersama rombongan TX Travel ketika masih bekerja di sebuah majalah wisata pada Februari 2015.  Tiket masuk museum ini pada waktu itu Rp2000 untuk orang dewasa wistawan lokal, namun kini saya kira Rp3000 per orang seperti tiga museum di atas. Jam buka pukul 09.00 hingga 15.00 pada Selasa hingga Sabtu. Sementara Minggu pada pukul 08.00 hingga 14.00.
Koleksi  museum ini antara lain arca potongan menggendong anaknya yang dipercaya sudah berusia 4000 tahun, patung era Sriwijaya, hingga temuan-temuan arkeologi di Sumatera Selatan. Terdapat berbagai replika prasasti berkaitan dengan Kerajaan Sriwijaya, seperti  prasasti Kedukan Bukit, Relaga Batu, Kota Kapur, Talang Tuo, Boom Baru, Kambang Unglen I, Kambang Unglen II, dan Prasasti Siddhayatra. Selain itu terdapat penjelasan hubungan Malaka dan Palembang di museum ini.
Rumah yang pernah jadi ikon pecahan Rp10.000 Â ini dibangun Sarip Abdurahman Al Hasbi, seorang Arab yang diangkat menjadi Kapiten pada 1836. Kemudian rumah itu dijual pada Pangeran Betung. Di dalam Rumah Limas terdapat perabotan khas Palembang, mulai dari kursi, lampu gantung dan sebagainya.Â
Pada waktu itu kami mengunjungi museum pagi hari, yang dilihat cukup banyak sehingga tidak cukup waktu satu jam. Â Satu-satunya persoalan sebagai destinasi wisata letaknya yang cukup berjauhan dengan obyek wisata lainnya. Memang ada Taman Wisata Alam Puntikayu, tetapi tidak terlalu cocok untuk dipadukan dengan kunjungan ke museum ini.Â
Promosinya juga tidak terlalu banyak bagi orang di luar Palembang. Â Mungkin ada baiknya ada pusat kuliner di dekat museum ini menyajikan makanan khas Palembang terutama untuk akhir pekan.
Foto-foto Dokumentasi Pribadi Irvan Sjafari
Sebagian bahan dari tulisan ini pernah dimuat di Majalah Bandung and Beautiful Magazine, Mei 2011, Plesir, Februari 2014 dan Maret 2015.