Mohon tunggu...
Jundyah Zahrah
Jundyah Zahrah Mohon Tunggu... Mahasiswa

graduate on time-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pakaian Wanita, Tafsir, dan Wajah Zaman

10 April 2025   09:47 Diperbarui: 10 April 2025   09:46 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di antara banyak perintah syariat yang terus diperbincangkan lintas zaman, soal pakaian wanita menempati posisi yang menarik. Ia tidak hanya menyentuh sisi ibadah, tapi juga menyentuh ranah budaya, sosial, bahkan politik identitas. Maka tak heran, pembicaraan tentang "pakaian Muslimah" selalu menjadi bahan hangat, baik di ruang akademik, ceramah, ataupun timeline media sosial.

Yang menarik, meski ayat-ayat Al-Qur'an mengenai pakaian sudah diturunkan lebih dari 1400 tahun lalu, perdebatan tentang bagaimana seharusnya pakaian itu dipakai---dan seperti apa wujudnya---tidak kunjung selesai. Mengapa? Karena di sinilah Islam memperlihatkan keindahannya: ajarannya bersifat prinsipil, namun tafsirnya selalu hidup dalam ruang dan waktu yang terus berubah.

  •  Fenomena Nyata di Era Kini

Dalam satu dekade terakhir, industri busana Muslim mengalami lonjakan tajam. Pada 2023, laporan State of the Global Islamic Economy mencatat bahwa nilai pasar modest fashion secara global mencapai USD 295 miliar [1]. Indonesia bahkan menjadi salah satu pusat tren hijab dunia, dengan munculnya berbagai merek lokal seperti Zoya, Elzatta, hingga brand premium seperti Kami dan Buttonscarves. Di sisi lain, muncul kegelisahan dari sebagian masyarakat Muslim yang melihat fenomena ini justru menyimpang dari tujuan syar'i. Baju yang diklaim "syar'i" namun ketat, transparan, atau terlalu mewah menjadi pemandangan umum di toko online, mall, hingga catwalk. Bahkan istilah baru pun muncul: "syar'i tapi seksi." Istilah ini merujuk pada busana yang secara teknis menutupi aurat, tapi tetap menonjolkan lekuk tubuh, gaya berlebihan, dan menimbulkan daya tarik lawan jenis [2].

Sementara itu, fenomena hijrah digital juga membawa dampak signifikan. Banyak figur publik yang berhijab karena hidayah, namun sebagian juga mengalami "trending hijrah", di mana hijab lebih menjadi simbol popularitas daripada ekspresi taat. Fenomena ini bisa kita lihat dari menjamurnya konten *hijab outfit of the day* (#OOTDHijab) yang menekankan tampilan estetik daripada substansi etis[3].

  •  Prinsip dalam Syariat: Tegas tapi Adaptif

 Penyebutan istilah pakaian al-Quran menyebutnya dalam beberapa kata, yakni libs (Q.S. al-A'raf [7]:26) atau labs artinya segala sesuatu yang menutup tubuh. Kata libs dapat ditemukan dalam beberapa surah Al-Qur'an. Kata libs memiliki berbagai makna[4]. Dari pengertian asal tersebut terjadi perluasan pemakaiannya. Libs diartikan sebagai "pakaian" pakaian dinamakan libs karena ia menutupi tubuh. Kata libs tidak terbatas pada pakaian yang menutupi tubuh saja, tetapi lebih luas dari itu. Suami istri juga disebut libs bagi masing-masing. Bahkan takwa juga disebut libs.[5]

 Dua ayat Al-Qur'an menjadi pilar utama dalam pembahasan pakaian wanita:

 1. Surah An-Nur ayat 31 menyerukan kepada wanita mukminah untuk menutup aurat dan tidak menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak. Ayat ini juga memerintahkan untuk menjulurkan kerudung hingga menutupi dada

 2. Surah Al-Ahzab ayat 59 menginstruksikan Nabi untuk menyampaikan kepada istri-istri dan kaum wanita beriman agar mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh, sebagai bentuk pengenalan identitas dan perlindungan dari gangguan

 Ulama klasik seperti Al-Tabari menafsirkan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan[6]. Ini menjadi dasar banyak madzhab dalam menetapkan batasan aurat. Namun, bentuk dan jenis pakaiannya tidak ditentukan secara spesifik oleh nash, memberikan ruang kepada umat Islam untuk menyesuaikan model pakaian dengan budaya lokal selama memenuhi prinsip utama: menutup aurat, tidak ketat, tidak transparan, dan tidak menyerupai pakaian laki-laki.

  •  Tafsir Kontemporer: Fleksibel tapi Tidak Relatif

 Ulama kontemporer seperti Dr. Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa Islam tidak memaksakan bentuk pakaian tertentu, namun meletakkan prinsip-prinsip yang harus dijaga dalam setiap bentuk pakaian[7]. Beliau mengingatkan, dalam Al-Halal wal Haram fil Islam, bahwa pakaian Muslimah tidak boleh menjadi sarana untuk menarik perhatian atau meniru pakaian yang menyalahi akhlak Islam.Senada dengan itu, Prof. M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah mengatakan bahwa kewajiban menutup aurat bukanlah pengekangan terhadap kebebasan wanita, tapi justru bentuk pemuliaan terhadap martabatnya[8]. Beliau juga membuka ruang bahwa mode bisa berubah sesuai zaman dan tempat, namun ruh dari ajaran itu---yakni kesopanan dan penjagaan diri---harus tetap utuh.

  •  Simbol Iman atau Simbol Gengsi?

 Tantangan zaman ini bukan lagi soal "berpakaian syar'i atau tidak," melainkan bagaimana menjaga niat dan kesadaran di balik pakaian yang syar'i itu. Tidak sedikit yang berhijab bukan karena iman, tapi karena tren sosial, tuntutan kerja, atau bahkan sekadar ikut-ikutan.Pakaian Muslimah hari ini kerap menjadi simbol status. Hijab bermerek, gamis premium, dan pamer gaya dalam bingkai syariat justru membuat kita bertanya: apakah hijab masih sebagai ibadah, atau sudah bergeser menjadi identitas sosial dan gaya hidup kapitalistik? Di titik ini, kita perlu kembali menata niat. Pakaian yang benar adalah yang tidak hanya menutup tubuh, tapi juga menutup celah riya, pamer, dan dominasi hawa nafsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun