Saya menghampiri para nelayan satu persatu dan memperhatikan kegiatan mereka. Beberapa anak kecil dan ibu-ibu terlihat ikut membantu para nelayan melepaskan tangkapannya. Perahu nelayan yang merapat ke darat pagi ini berjumlah sekira 10 buah. Wajah nelayan itu terlihat letih setelah seharian bekerja di tengah laut. Meskipun hasilnya tidak terlalu menggembirakan, tetapi mereka tetap bersyukur karena masih ada yang bisa dijual untuk menghidupi keluarganya.
[caption caption="Ibu-ibu dan anak-anak juga turut membantu nelayan memisahkan ikan dari jaring (sumber: J. Haryadi)"]
[caption caption="Kepiting rajungan, salah satu tangkapan primadona nelayan Citeurup (Sumber: J. Haryadi)"]
[caption caption="Ikan dan kepiting hasil tangkapan nelayan (Sumber: J. Haryadi)"]
Kehidupan Nelayan Ternyata Cukup Memprihatinkan
Saya tidak menduga ternyata kehidupan para nelayan jauh dari apa yang saya bayangkan. Menurut Hasanudin – salah seorang nelayan asli penduduk setempat, mereka biasanya berangkat memasang jaring ke tengah laut pada sore hari, sekira pukul 15 WIB-16.00 WIB.
Satu perahu nelayan biasanya diisi 2-3 orang. Mereka memasang jaring ke tengah laut yang berjaarak sekira 3-5 km dari bibir pantai. Waktu yang mereka butuhkan untuk memasangnya sekira 1 – 1 ½ jam. Setiap jaring nelayan diberi pelampung dan bendera kecil untuk menandakan siapa pemiliknya. Lebar jaring sekira 1 m-1,5 m dan panjangnya lebih dari 100 m.
Setelah dipasang semalaman, esok pagi harinya para nelayan beramai-ramai ke laut untuk mengambil hasil tangkapannya. Kalau ombak sedang besar, biasanya hasil tangkapannya relatif banyak, tetapi kalau ombak kecil, hasil tangkapan mereka pun berkurang. Bahkan jika musim angin barat, mereka tidak bisa melaut sehingga tidak mendapat penghasilan. Mereka terpaksa berhutang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Kalau sedang sepi, sehari kami bisa mendapat ikan sekitar 3 kg. Kalau sedang ramai, bisa mencapai 10 kg sampai 15 kg. Hasilnya kami jual kepada tengkulak dengan harga Rp24.000 per kg. Khusus rajungan (sejenis kepiting laut) harganya Rp28.000 per kg, tetapi kalau sudah dijual ke pasar harganya bisa mencapai Rp50.000” ujar Hasanudin menjelaskan.
Tidak Ada biaya Untuk Membeli Perahu Baru
Menurut, Eko – salah seorang nelayan Citeureup lainnya, kehidupan mereka sangat berat. Bisa dibayangkan kalau pendapatan dari hasil melaut cuma 3 kg, hasilnya terlalu minim, sebab bahan bakar untuk sekali melaut saja sekira 3 liter bensin. Jika pendapatannya 3 kg sehari X harga jual @ Rp24.000, maka penghasilan kotor nelayan adalah sebesar Rp.72.000. Jika harga beli bensin sebesar @ Rp9.000 per liter, maka pengeluarannya adalah 3 X Rp9.000 =Rp27.000. Penghasilan kotor mereka adalah Rp72.000-Rp27.000=Rp45.000 perhari. Itu belum dipotong dengan biaya kebutuhan sehari-hari. Lantas bagaimana mereka harus menyisihkan uang untuk membeli perahu motor baru?